×

Warning

JFolder::create: Could not create folder.Path: /home/semarawi/public_html/t3-assets/dev

Wednesday, 06 May 2015 00:00

Piala Dunia

Rate this item
(0 votes)

Sejatinya saya adalah penggila sepakbola. Bagi saya sepakbola adalah luarbiasa. Bahkan, kalo mau jujur, organisasi FIFA alias Presiden FIFA lebih berkuasa di dunia ini dibanding presiden-presiden yang ada atao yang lainnya. Tunjuk saja, apabila sebuah negara mencampuri urusan sepakbola, maka Presiden FIFA langsung mengeluarkan maklumat untuk mengucilkan negara itu dari hingar bingar sepak bola sejagat. Embargo ini bisa jadi sebuah yang meyesakkan bagi negara yang terkena sanksi FIFA tersebut.

Memori saya seakan terbawa pada suatu subuh, yaitu pada final Piala Dunia 1986, Argentina vs Jerman Barat. Sebelum final itu, saya sudah rajin membaca Tabloid BOLA, sebuah media terkemuka di tanah ar, yang menyajikan informasi dan berita tentang olahraga terutama sepakbola. Jelas sekali, pemberitaan pada media tersbut, lebih banyak bercerita tentang seorang pemain sepakbola hebat bernama Diego Armando Maradona, sang kapten Argentina. Saking penasarannya, saya tak pernah lupa, bahkan saat menulis notes ini, bagaimana umpan terobosannya ke depan, diselesaikan dengan sempurna oleh Burruchaga. Argentina 3, Jerbar 2 dan terus bertahan sampe akhirnya saya melihat Maradona mengangkat Trophy Piala Dunia tersebut. Sejak itu, saya begitu memfavoritkan Argentina dan Maradona. Bahkan saya begitu bersemangat, mengikuti berita tentang Argentina ataupun Maradona dengan Napolinya. Singkat cerita, saya adalah fans Napoli karena Maradona.

4 tahun berselang, itulah pertama kalai saya merasakan kekejaman sepakbola terhadap perasaan manusia. Piala Dunia 90 di Italia adalah momentnya. Saya masih ingat betul bagaimana Maradona melakukan juggling bola sesaat sebelum kick off melawan Kamerun di pembukaan Piala Dunia tersebut. Tapi saya tercengang setelah hasil akhir Argentina kalah 0-1. Saya bersedih, tapi masih ada semangat tinggi dan yakin Argentina akan bangkit. Saya juga tak lupa bagaimana saya loncat kegirangan ketika mendengar berita di RRI jam 11 siang, bahwa Argentina unggul 2-0 atas Uni Soviet. Setelahnya Argentina lolos dari fase grup dan jumpa Brasil di perdelapan final. Singkat cerita, saya begitu bergembira, ketika melihat Argentina tiba di Final untuk berjumpa kembali dengan Jerman Barat. namun disitulah kekejaman sepakbola itu dimulai. Untuk pertama kalinya saya menangis karena sepakbola. Saya tak kuasa menahan kesedihan ketika penalti Brehme membawa JerBar mengalahkan Argentina. Saya tak kuasa membendung kesedihan ketika melihat Maradona, pemain yang saya kagumi, menangis terisak-isak karena kalah. Saya tidak mengerti apakah Argentina dicurangi ato tidak, Klinsmann diving atau tidak, tetapi yang jelas, saya begitu sedih, saat melihat Maradona menangis. Sejak itulah sebenarnya awalnya saya tidak ingin lagi mendukung sebuah negara di Piala Dunia. Ada baiknya hanya jadi penikmat sepakbola. Pun ketika akhirnya pamor Maradona pudar, ditambah Napoli yang juga minim prestasi pasca Maradona hengkang, saya tak lagi punya tim favorit di sepakbola. Bahwa belakangan, saya teratrik dengan Inter Milan, itu tak lebih dari seorang Massimo Moratti, mantan Presiden Inter yang saya kagumi karena humanity nya saat membantu Kanu, pemain Inter asal Nigeria dalam pengobatan sakit jantungnya tempo silam. Selebihnya, perasaan saya biasa-biasa saja.

Piala Dunia 2006 dan Piala Dunia 2010, adalah untuk kesekian kalinya, saya melihat Argentina berjumpa dengan Jerman. Namun seperti yang sudah diketahui bersama, Argentina tak pernah sanggup merobohkan Tembok Berlin. Jerman terlalu kokoh buat Argentina, paling banter adalah 2006 saat Argentina kalah adu penalti. saat itu, saya sedang tugas d Balikpapan. Saya ikutan nonbar di sebuah kafe dekat pantai Manggar, dimana banyak pengunjungnya adalah expatriat perminyakan. Dan ketika Argentina kalah, saya juga biasa-biasa saja. Tak ada kesedihan yang mendalam. Juga saat Argentina dengan Maradona serta Messi melawan Jerman tahun 2010, saat itu, saya malah memilih untuk pergi dengan kekasih hati saya (sekarang jadi istri :) untuk nonton di Plasa Senayan. Begitu keluar bioskop dan tahu hasil Argentian kalah, saya juga biasa-biasa saja. Tak ada kesedihan, semua berlalu begitu saja.

Namun, ada yang lain di 5 tahun terakhir. Entah kenapa, saya yang pecinta sepakbola ini, tiba-tiba mengidolakan Messi. Pemain Barcelona yang memiliki talenta luar biasa ini, mejadi pemain favorit saya setelah terakhir saya begitu menggilai Maradona. Sepak terjang yang di level klub adalah luar biasa. 2 gol nya ke gawang MU, pada final Champions League, serta rekor2 fantastisnya sebagai seorang pemain sepakbola membuat saya berdecak kagum. Apalagi jurnalis-jurnalis dalam dan luar negeri sering menyamakn dia dengan legenda Argentina, Maradona. Saya tau persis, musim 2013/2014 tidak berjalan baik bagi Messi. Tak satupun gelar ia peroleh bersama Barcelona. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Messi sepanajang musim. Tapi harapan di hati kecil saya, semoga ia sedang mempersiapkan diri tuk pagelaran akbar Piala Dunia 2014. Sebuah gelar yang bisa membawa dia, sejajar dengan Maradona. Semua orang pasti tahu, terutama publik di Argentina, sederet rekor individu Messi tak punya arti jika tak pernah membawa Argentina menjadi juara dunia. Tepat di 2014 ini adalaha kesempatan besar bagi Messi yang ditunjuk sebagai kapten Argentina. Tanpa saya sadari, kecintaan terhadap Argentina kembali tumbuh. Saya berharap mereka bisa lolos ke Final dan jadi juara. Dan akhirnya seperti yang kita tahu semua, walaupun hanya selalu menang dengan selisih satu gol, Argentina ku tiba di Final.

Sebelum final berlangsung, saya mencoba membaca tanda-tanda alam, sesuatu yang selalu saya lakukan untuk menebak hasil akhir pertandingan. Ketika Argentina dipastikan berjumpa Jerman, memori saya mendadak menegingat Final 86 dan 90, dua pertandingan yang saya ikuti dari menit awal hingga akhir. Harapan tuk Argentina juara begitu besar dalam diri saya. Ada 2 tanda yang sempat saya pikir. Pertama, saat Argentina juara 86, sang kapten yang mengangkat piala adalah Maradona 10. Begitu pun tahun 90, saat kapten Jerman Matthaus 10 mengangkat Piala Dunia tuk Jerbar. Akankah kali ini Messi 10 tuk Argentina. Tapi tanda satu lagi adalah tidak menyenangkan bagi hati saya. Saat Argentina juara 86, mereka mengenakan jersey kebesaran mereka, biru langit garis putih. Begitu juga saat Jerbar juara 90, mereka mengenakan jersey kebesaran Putih di partai final. Saat Minggu pagi, di akhir ibadah gereja, setelah mendoakan keluarga, saya berdoa kepada Tuhan. Tuhan saya tau, engkau Maha Adil. Pagi nanti, Argentina bertanding melawan Jerman. Saya tau, seluruh warga Jerman pasti berdoa agar timnya juara, begitu juga dengan rakyat Argentian, mereka pasti medoakan, agar Messi cs yang jadi juara. Tapi saya mohon Tuhan, kiraNya kali ini Kau mengabulkan doa rakyat Argentina. Ijinkah Messi tuk mengangkat Piala Dunia tuk negaranya. Ijinkan ia menjadi legenda baru bagi Argentina, terutama pasca Maradona, yang begitu buruk kehidupan diluar karir sepakbolanya. Saya pun tak lupa mengakhiri doa itu, dengan jadilah sesuai kehendak-Mu.       

Dan kenyataan itu tiba tadi pagi. Saat wasit dari Italia meniupkan peluit panjangnya, saya harus melihat untuk kesekian kalinya Argentina tumbang di tangan Jerman. Tembok Berlin itu tak kuasa runtuh. Saya langsung teringat lagu kebangsaan Jerman, yang syairnya digubah dalam Kidung Jemaat 262 dengan salah satu syairnya.. tak tertembus musuhmu, tembok keselamatanku. Saya pun mencoba tuk berbesar hati. Namun, apa daya, setelah sekian lama saya tak menangis karena sepakbola, akhirnya air mata ini menetes saat saya melihat Messi disorot kamera saat bersiap naik ke podium menerima penghargaan Golden Ball. Saya sedih karena saya tahu bukan ini yang Messi harapkan. Bahkan sebelum final Messi bilang, saya bersedia menukar seluruh rekor dan penghargaan yang saya miliki untuk sebuah gelar piala dunia bagi Argentina. Messi pun tidak terlalu bersemangat dengan penghargaan tersebut. Saya tidak melihat dia menangis seperti Maradona tahun 90 silam. Tapi raut muka kekecewaan tak bisa hilang dari wajahnya. Saya tidak tahu apa rencana Tuhan tuk Messi. Dia begitu dekat dengan gelar dan keabadian. Begitu dekat dengan sanjungan dari seluruh rakyat Argentina. Tapi semua sirna. Saya juga ga tau, apakah 2018 nanti saat Messi sudah 31 thn, dia masih tampil di Piala Dunia. Rasanya masih panjang perjalanan kesana. Mimpi Messi10 tuk piala dunia berakhir, yang ada Jerman dengan jersey utamanya Putih yang akhirnya dipilih Tuhan tuk juara.

Piala Dunia 2014 usai sudah. Terimakasih Brasil 2014, terimakasih Messi dan Albiceleste serta selamat tuk Lahm cs yang akhirnya juara. Tim terbaik selama turnamen memang pantas untuk jadi yang terbaik alias Juara. 

Deutschland, Deutschland über alles

uber alles in der Welt !!!

Daniel Tangkas Sianturi

HR Manager Tabloid Bola dan Pemerhati Bola

 

Last modified on Wednesday, 06 May 2015 23:40
Super User

Tolong komentar dengan kata-kata yang tidak menyinggung

Login to post comments