All article
Do more than belong: participate. Do more than care: help. Do more than believe: practice. Do more than be fair: be kind.
Do more than forgive: forget. Do more than dream: work.
~ William Arthur Ward
Tampak keceriaan sejumlah anak yang tinggal di sebuah rumah berlantai 2 berlokasi di Jalan Anggrek Neli Murni A110 Slipi. Rumah ini layaknya seperti rumah biasa, tapi ketika kita masuk kedalamnya kita akan menemukan anak-anak yang sedang berlari kesana kemari, berteriak, bernyanyi, seperti layaknya anak normal, tidak ada kesedihan sedikitpun tampak di raut wajah mereka. Kalau kita cermati secara seksama, terlihat gambaran fisik yang berbeda dari anak pada umumnya. Ada yang terlihat tak sempurna secara fisik dan ada yang terlihat seperti tak ada masalah. Dibalik keceriaan, terbersit adanya penderitaan fisik yang dirasakan dan bahkan mungkin tak satupun yang akan bisa menebak seberapa lama mereka kan bertahan dengan penyakitnya. Keceriaan tersebut sangat mengharukan dan juga memberi inspirasi. Anak-anak yang hanya “satu centimeter” dari kematian, tetap bisa ceria. Orang tua yang tadinya sedih, lambat laun merasakan tumbuhnya rasa pasrah dan menatap masa depan anak mereka dengan ceria. Sementara di belantara lain Jakarta, banyak orang “cemberut” dengan kemewahannya.
Mungkin tak banyak orang mengenal, Tasripin bocah umur 12 tahun asal sebuah dusun kecil di desa Gunung Lurah Kecamatan cilongok kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang hidup bersama ketiga adiknya sebatangkara tanpa ditemani oleh kedua orang tuanya. Ibu Tasripin telah lama meninggal dunia, sedangkan ayahnya terpaksa merantau ke Kalimantan dengan kakak tertua, bekerja untuk mencari nafkah dan sekali sekali mengirimkan uang ke Tasripin, dan itupun tak selalu rutin. Untuk menghidupi kebutuhannya dan ketiga adiknya tersebut, dengan terpaksa Tasripin harus putus sekolah dan bekerja sebagai buruh tani harian di desanya.
Menarik rasanya menyimak sebuah papan pengumuman yang dipasang oleh pemilik tanah sekitar Jl. Dr. Satrio Jakarta yang berbunyi “TANAH INI TIDAK DIJUAL”. Sebentuk pengumuman singkat dari pemilik tanah yang menyatakan secara tegas pada siapapun yang membaca bahwa pada saat ini tanah itu tidak dijual. Mungkin sudah banyak calo / broker serta pembeli yang telah bertanya kepada pemiliknya, apakah tanah ini dijual? Daripada lelah untuk menjawab, lebih baik menyampaikan secara tegas. Hal ini merupakan sebentuk komunikasi yang sederhana, tetapi menggambarkan keinginan yang jelas dari komunikatornya. Penggunaan kata “tidak” dan bukannya “belum” juga menunjukkan niatan yang tidak memberikan peluang untuk melakukan sebuah tawar menawar.
Ada yang unik pada saat meeting pagi dilaksanakan pada minggu terakhir menjelang liburan lebaran. Tidak hanya waktu meeting yang sedikit lebih panjang oleh karena banyaknya materi menjelang liburan yang harus dibahas, namun ada satu pertanyaan yang selalu saya ulang setiap tahunnya, yaitu siapa sajakah karyawan yang akan mudik di liburan lebaran kali ini? Ekspresi pertama yang muncul adalah hampir sebagian besar mengangekat tangannya, dan sebagian hanya terdiam, ada yang tersenyum, ada yang sedikit cemberut, bahkan ada yg kelihatan tertarik untuk bercerita lebih lanjut.
Hidup di Jakarta bagi sebagian orang mungkin sebuah mimpi, ada harapan yang muncul ketika sesorang berbicara tentang Jakarta. Terbayang oleh mereka adanya simbol-simbol kemakmuran disana, tapi bagi sebagian besar yang pernah tinggal di Jakarta, pandangan tersebut hanyalah sebuah fatamorgana. Jakarta adalah kota yang penuh dengan kemacetan, sudah bukan rahasia umum bila untuk menuju suatu tempat yg berjarak 2 atau 3 km, kadangkala membutuhkan lebih dari 1 jam perjalanan. “Tua di Jalan” sebuah istilah yang tak asing di telinga kita.
Siapa nih yang kentut?, suatu umpatan yang biasa dilakukan oleh seseorang ketika mencium suatu bau yang tak sedap diantara sekumpulan orang lain. Rupanya orang tersebut sedang membutuhkan sebuah pengakuan dosa, walaupun kenyataan bau yang sudah dihirup tak mungkin dengan mudah dihilangkan begitu saja. Apakah dengan pengakuan dosa, bau akan kembali menjadi harum? Jelas dan pasti tentu tidak jawabannya. Mungkin pengakuan dosa dibutuhkan sebagai bentuk katarsis yang dapat meringankan rasa bau dan kesal dihati. Disisi lain, memang sulit membayangkan bahwa yang kentut akan mengakuinya, kecuali pada saat kentut disertai dengan bunyinya. Apakah yang mencium akan memaafkannya setelah tahu, tentunya belum dapat dipastikan juga.