Bukanlah hal aneh kiranya banyak anekdot dan joke yang muncul dari begitu menggebu-gebunya para aktor-aktor politik dalam mendirikan partai politik tersebut, dari yang mengatasnamakan demokrasi hingga yang tersirat seolah-olah ingin sekedar memanfaatkan kucuran dana pemilu yang nilainya cukup lumayan untuk membeli segepok mimpi kekuasaan. Terlepas dari phenomena politik tersebut dengan bersandar pada itikad politik dari masing-masing aktor politik tadi, tidak dapat disangkal lagi bahwa kemunculan partai-partai politik tadi disebabkan oleh euphoria akibat dibukanya kran pendirian partai politik sejak tumbangnya pemerintahan otoritarian Orde baru tahun 1998.
Bila merunut sejarahnya, fenomena munculnya sistem multi partai di Indonesia dewasa ini mirip seperti apa yang terjadi beberapa puluh tahun lalu, yang dimulai dengan dikeluarkannya Maklumat No. X oleh Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945. Maklumat ini lahir sebagai salah satu bentuk frustatif para pelaku politik akibat kekhawatiran mereka terhadap dominasi Presiden yang secara pribadi masih mengagungkan sistem demokrasi terpimpin, dimana peran Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang pada saat itu belum terbentuk, tugas-tugasnya dijalankan oleh presiden. Sistem demokrasi terpimpin yang menempatkan Presiden Soekarno sebagai satu-satunya pihak yang memiliki kekuasaan politik dan militer, dikhawatirkan akan menyebabkan system demokrasi yang bertumpu pada kekuatan rakyat tidak dapat berjalan dengan baik. Seiring berjalannya waktu, banyak tokoh-tokoh politik yang diperkirakan menjadi pesaing dan berseberangan pemikiran ditangkap dan diasingkan. Hal ini pernah terjadi pada tokoh-tokoh PSI, seperti Syahrir dan Mr. Anak Agung Gde Agung, yang ditangkap dan diasingkan di Madiun Jawa Timur oleh karena perbedaan ideology politiknya. Hal ini juga digerakkan oleh kedekatan Presiden Soekarno terhadap tokoh-tokoh PKI pada saat itu. Oleh karenanya, Hatta melalui maklumatnya mengusulkan untuk membentuk Komite Nasional Pusat sebagai badan legislasi Negara sebagai langkah antisipasi terhadap dominasi Presiden tersebut. Maklumat ini mendorong munculnya partai-partai politik baru, sebagai bagian upaya untuk mendapatkan dukungan politik untuk menduduki jabatan sebagai legislator. Dengan adanya komite ini, maka diharapkan mampu merumuskan kebijakan dan perundang-undangan yang dapat mengontrol sepak terjang Presiden pada saat itu.
Sejalan perkembangan waktu, sistem demokrasi liberal yang ingin diciptakan pada saat itu dan berusaha menegakkan demokrasi yang seutuhnya akhirnya belum bisa menjadi obat bagi tumbuhnya demokrasi yang lebih egaliter. Setelah berjalan lebih dari sepuluh tahun lamanya, Pemerintah yang diisi tokoh-tokoh partai politik silih berganti bertumbangan, pertentangan politik semakin melebar, pembangunan semakin terhambat, sehingga muncul kekecewaan dari rakyat. Momentum ini, benar-benar dimanfaatkan oleh Presiden Soekarno saat itu untuk mengeluarkan Dekrit Presiden, pada tanggal 5 juli 1959, yang isinya menegaskan langkah kembali negara pada UUD 1945. Dan ini juga menjadi tonggak kembalinya demokrasi terpimpin. Dengan jargon Bapak Bangsanya, Penyambung Lidah Rakyat, dan Panglima Besar Revolusi, Soekarno kembali menancapkan pengaruhnya ke seluruh sendi-sendi kemasyarakatan. Ditengah percaturan ideologi dunia, Indonesia tumbuh dan terkontrol dalam kerangka demokrasi terpimpin. Dominannya peran presiden lambat laun juga menjadi sorotan dan banyak muncul penentangan. Pertempuran ideologi semakin meruncing disertai juga pertempuran yang bersifat fisik. Kembali rakyat menjadi korban dari pertentangan ini.
Ideologi demokrasi ini kembali teruji ketika tahun 1966, Soekarno dengan terpaksa ‘dilengserkan’ dari tampuk kekuasaan. Tahun 1966, adalah tonggak dimana sebagian besar elemen masyarakat menginginkan adanya perubahan yang mendasar dalam sistem perpolitikan, yang berusaha mencari rumusan jalan tengah antara Demokrasi Terpimpin dan demokrasi Liberal. Dengan jargon Demokrasi Pancasila, Soeharto berusaha menerapkan beberapa konsep demokrasi terpimpin melalui mempertahankan kekuatan presidensial yang kuat, tetapi juga melakukan kompromi dengan membentuk system kepartaian dan menyederhanakannya hanya menjadi 3 partai politik saja. Melalui dukungan komponen kekaryaan yaitu ABRI, Birokrasi dan Golkar, Soeharto mengendalikan semua sendi kehidupan kenegaraan. Tapi seperti kata Lord Acton “power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, niat untuk mengembalikan demokrasi ke jalur yang benar seakan-akan kehilangan arah. Soeharto dan kroni-kroninya merajalela menguasai asset-asset ekonomi negara dan membaginya ke lingkaran terdekatnya. Kembali kedaulatan rakyat teraniaya. Power yang absolute tidak benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi dan kroni. KKN merajalela, rakyat semakin terpuruk, kekesalan dan kekesalan mulai merebak di sanubari rakyat. Gerakan ini memuncak bersamaan dengan gejolak perekonomian di Indonesia dan kawasan sekitar yang bergerak menurun secara cepat. Inflasi cukup tinggi, kurs mata uang tak terkontrol pergerakannya, sehingga banyak industri yang mengalami kejatuhan dan banyak karyawan yang harus dirumahkan dan bahkan harus kehilangan pekerjaannya. Dengan dimotori oleh mahasiswa, maka tumbanglah rejim Orde Baru.
Bila kita melihat proses transaksi politik yang ada, kebanyakan awalnya didasarkan pada tujuan ideal. Namun lambat laun kenyataan dilapangan tidak dapat dibuktikan sesuai seperti yang diharapkan. Ternyata akses dan kemudahan dapat melemahkan idealisme. Uang telah meruntuhkan cita-cita luhur yang hendak dicapai. Kembali yang menjadi korban adalah rakyat kebanyakan. Pergantian tampuk kepemimpinan hanya membawa dampak positif sesaat.
Demokrasi yang lemah akan memunculkan Mobokrasi. Mobokrasi lahir ketika tokoh-tokoh politik mulai bermunculan dan berusaha dengan segala caranya mencari pengaruhnya di masyarakat sehingga terbentuk pengelompokan-pengelompokan politik. Perebutan pengaruh yang tidak didasarkan etika politik yang santun dan landasan moral yang kuat menyebabkan seringnya kita temukan pertikaian-pertikaian politik yang tajam dari tokoh-tokoh politik yang ada, dan bahkan melibatkan kekuatan massa. Yang kuat akan menjadi pemenang dan kemenangan bagi yang kuat akan memunculkan raja-raja baru yang tidak lagi menjalankan pemerintahan secara demokratis melainkan dengan cara otoriter. Mobokrasi akan melahirkan tirani dan monarki absolute. Apa yang hendak diraih? Semangat demokrasi yang dibangun dikalangan elite politik tentunya akan menjadi boomerang dari esensi paham demokrasi tersebut, bila tidak disertai oleh upaya pendidikan politik bagi masyarakat, baik sebagai anggota dari partai politik maupun hanya sebagai simpatisan dari partai politik. Kasus yang terjadi di beberapa pemilihan kepala daerah, dimana banyak terjadi kekalahan yang berujung pada anarki, telah menjadi indikator nyata ketidakberhasilan elite politik dalam mensosialisasikan dan mendidik masyarakat untuk dapat hidup dalam harmoni demokrasi seperti halnya esensi dari demokrasi itu sendiri. Jangan-jangan elit politiknya sendiri tidak memahami esensi sebenarnya dari demokrasi itu. Terlepas dari pilihan anggota masyarakat yang dilandasi oleh norma sosio-politiknya yang merupakan keyakinan individual, dapatlah digugat rasanya pemahaman tentang esensi demokrasi yang selalu berujung pada penggunaan tindakan-tindakan kekerasan dalam prakteknya.
Menarik sekali jika kita mau melirik apa yang selalu menjadi catatan Alm. Dr. Alfian dalam berbagai artikel dan bukunya mengenai pertumbuhan paham demokrasi, sebagai acuan philosophis dari kemunculan paham ini, sehingga pemaknaan dari esensi demokrasi dapat dicerna oleh masyarakat. Kelahiran paham demokrasi tidak terlepas dari kegagalan penerapan system monarki dan oligarki, dimana rakyat hanya menjadi korban dari proses politik dan kenegaraan yang ada. Revolusi Perancis yang terjadi 14 Juli 1789, telah menjadi tonggak munculnya paham demokrasi, dimana rakyat secara bersama-sama berusaha meruntuhkan penjara Bastille yang menjadi symbol tirani monarki Louis XIV yang memiliki paham L’etat c’est moi – negara adalah saya. Dengan Jargon perjuangan Libertie(kebebasan), Egalite (persamaan) dan Fraternite (persaudaraan), mereka menegaskan keruntuhan paham monarki absolut di Perancis, sehingga terjadi pergeseran pandangan menjadi suara rakyat adalah suara Tuhan.
Dengan keruntuhan paham monarki ini munculah kekuatan-kekuatan baru yaitu buruh, petani dan kaum kapitalis. Ketiga kekuatan tadi mendominasi system politik demokrasi dewasa ini dan menjadi kekuatan-kekuatan politik kepartaian yang berkembang saat ini. Namun kembali kepandangan Lord Acton bahwa kekuasaan absolutlah yang memunculkan tirani. Apapun bentuk system politik yang dianut bila tidak ada yang melakukan control akan memunculkan tirani. Bagaimana dengan kita, adakah kekuatan pengontrol yang kuat dari system politik di Indonesia? Banyak yang berharap pers mampu melakukannya. Tapi kenyataannya sungguh berbeda, dimana lembaga pers yang kita harapkan sebagai “fourth estate”, ternyata telah menjadi kepunyaan tokoh-tokoh politik yang juga bersaing untuk merebut kekuasaan. Akankah insan-insan pers bisa menjadi independen ketika pemiliknya terlibat dalam upaya memperoleh kekuasaan. Tentunya optimisme tetap ada, namun sejauh mana itu terbukti, kita kembalikan ke insan pers sendiri untuk merenunginya. Akankah terlarut dalam tarik-menarik pusaran percaturan politik yang ada, ataukah bisa bertindak bebas dan bertanggung jawab bukan kepada pemilik modal atau majikan tetapi sejatinya kepada rakyat, dan juga tak membiarkan mobokrasi menjatuhkan demokrasi…….