×

Warning

JFolder::create: Could not create folder.Path: /home/semarawi/public_html/t3-assets/dev

Saturday, 02 May 2015 00:00

Chef

Rate this item
(0 votes)

A crust eaten in peace is better than a banquet partaken in anxiety.

~ Aesop


Bagi penggemar kuliner tentu tak asing dengan nama Bondan Winarno, seorang trendsetter dibidang kuliner, yang sering tampil di acara-acara ataupun ulasan tentang kulineri Nusantara dan terkenal dengan jargon “Maknyus” nya.  Sosok Pak Bondan, yang sering ditemani oleh seorang presenter wanita, dan dengan gaya blusukannya yang khas ke restoran pinggir jalan dan makanan kampung hingga menu-menu modern yang tersaji di Restoran-restoran berkelas  mencoba mengenalkan ke publik atau masyarakat bahwa begitu kayanya republik ini dengan keragaman kulinernya sehingga menjadi suatu yang harus dan perlu diketahui oleh masyarakat. Pak Bondan telah mengilhami lahirnya spirit nasionalisme kuliner, yang sempat adem ayem berapa dekade terakhir.

Program yang di gawanginya di beberapa statsiun TV  banyak mengilhami program-program sejenis di berbagai media baik itu media eletronik maupun media cetak. Dan bahkan saat ini telah banyak muncul kelompok-kelompok sosial yang terkait erat dengan masalah kuliner ini, seperti Natural Cooiking Club (NCC) yang sering mengadakan event bagi para pe Hobbies masak-memasak di Jakarta serta melalui web dan jejaring sosialnya telah merambah secara nasional. Ada juga beberapa kelompok sosial lain yang bergabung karena suka pada jenis produk makanan dan minuman tertentu, seperti misalnya para penggemar wine yang tergabung dalam  Indonesia Wine Club (IWC).  Disamping banyaknya muncul klub-klub kuliner tersebut, tempat-tempat yang dikunjungi dan telah dipublikasikan di acara kuliner di media elektronik,  seolah-olah tertimpa rejeki, karena banyak wisatawan kuliner mencoba mencicipi makanan yang telah dipromosikan oleh Pak Bondan tersebut.

Rasanya dalam hal jenis dan momentumnya, urusan perut bukanlah suatu yang perlu dikhawatirkan di republik ini, dari acara keluarga, silaturahmi dengan rekan dan teman sejawat, makan siang bersama, buka puasa bersama, acara perkawinan, kunjungan kedinasan ke daerah maupun keluar negeri, kegiatan olahraga dan bahkan acara-acara yang berkaitan dengan kematian pun diisi dengan acara makan-makan. Bahkan makan yang disajikan  kadangkala menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah acara. Tamu dalam perhelatan menjadikan menu  dan melimpahnya sajian makanan sebagai sebuah gunjingan pasca event dijalankan.  Oleh karenanya banyak yang mengatakan bahwa budaya makan adalah budaya kita, budaya yang juga dikaitkan dengan kesantunan masyarakatnya.  Namun bila kita cermati secara lebih seksama, masalah kuliner saat ini nampaknya tidak lagi hanya sekedar masalah mengisi perut, kuliner sudah menjadi sebuah keunggulan kompetitif baru ditengah pergaulan sosial. Sederhananya, banyak orang yang merasa unggul ketika telah mencoba sejenis makanan baru yang berbeda dan  yang belum pernah dicoba rasakan oleh rekan lainnya. Dan bagi yang lainnya akan terdorong untuk mencari dan mencobanya. Potensi ini benar-benar dimanfaatkan oleh pengelola pariwisata. Dahulunya kita hanya mengenal wisata alam dan wisata seni dan budaya, sekarang kita dikenalkan juga wisata kuliner.

Yang tak boleh dilupakan bahwa ephoria wisata kuliner adalah pemicu pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Banyak ragam merk makanan yang tadinya terkenal di daerah-daerah telah mulai merambah melalui franchaising ke ibukota Jakarta, maupun kota-kota besar lainnya. Di Jakarta saja berpuluh-puluh Restoran Soto Ambengan Pak Sadi Asli kita bisa kita temukan di seantero Jakarta. Demikian juga merk-merk lainnya, seperti Soto Pak Min Klaten, Nasi Bali dan  Ayam Betutu Dolar, Bebek Kaleo, Sop Daging Leko, Tahu Gimbal Semarang, Sate Kempleng, Soto Bogor, Rawon Setan Mbak Endang, Tahu Pletok Tegal, Rawon Nguling Surabaya, Gudeg Yu Jum, Ayam Goreng Mbok Berek, Sate Padang Mak Syukur, Soto Kudus, Pecel Madiun, Soto Banjar, Pempek Palembang, Es Pisang Hijau Makasar, Ayam Taliwang Sumbawa, Rujak Cingur Surabaya, Sate Ayam dan Kambing Madura, Babi Guling Gianyar, Mi Jawa Mbah Mo Jogja, Siomay Bandung, Bakso Malang, Ayam Goreng Kalasan, Gudeg Koyor Salatiga, Sop Tengkleng Wonogiri, Nasi Leko dan Jamblang Cirebon, Sate Kambing Batibul Tegal, Empal Gentong Cirebon, Soto dan tangkar Iga Betawi, Sop Conro dan Coto Makasar, Bandeng Presto Juwana, Mie Atjeh, Nasi Liwet Solo,  Bubur Manado, Lumpia Semarang, Tempe Mendoan Purwokerto, Nasi Gandul Pati, Kwetiaw Medan, dan masih banyak lagi ragam kuliner Nusantara, yang tentunya perlu kita coba. Yang selalu menjadi pertanyaan apakah yang ada di Jakarta seenak aslinya? Pertanyaan ini akan menjadi dorongan bagi mereka yang suka kuliner untuk langsung eksplorasi ketempat dimana makanan tersebut berasal.

Ada hal yang kadang dilupakan dibalik begitu beragamnya jenis makanan nusantara, dimana keragaman ini dilahirkan oleh para chef-chef tradisional yang mempertahankan resep dan citarasa secara turun temurun. Mereka adalah para maestro seni dibidang kuliner, yang menciptakan berbagai jenis makanan dengan penuh dedikasi dan tanpa suara. Makanan yang diciptakan tidak hanya enak dimakan, tetapi juga merupakan hasil karya besar di balik layar yang sangat mengagumkan. Namun sayang sekali hingga saat ini belum ada program penghargaan khusus yang mampu mengapresiasi para chef-chef penjaga tradisi tersebut seperti layaknya maestro seni dan budaya lainnya. Belum ada penghargaan yang diberikan baik pemerintah maupun organisasi swasta kepada pelopor-pelopor di bidang kuliner ini. Yang ada hanya piala-piala juara bagi chef-chef yang menang dalam kompetisi kuliner. Memang patut disayangkan bahwa keragaman kuliner yang dimiliki, cenderung dianggap biasa saja, dan hanya sebagai suatu yang nikmat di lidah dan jadi pergunjingan ketika lapar. Kita baru akan berteriak ketika banyak hasil karya bidang kuliner kita yang diakui oleh negara lain sebagai karya anak bangsa nya. Kita juga baru menyadari bahwa keragaman itu merupakan sebuah kekayaan bangsa (nation assets) ketika negara lain memperoleh keuntungan ekonomis dari keragaman kuliner kita.

Tak seperti di negara lain, yang sangat menghargai pengkreasi kuliner, di Indonesia penghargaan hanya melekat pada nama yang tercantum sebagai merk dagangnya. Dan keterbukaan masyarakat Indonesia terhadap peniruan menyebabkan semakin beragamnya jenis makanan dengan nama yang sama, dengan racikan yang berbeda yang lahir karena kegagalan peniruan atau bahkan sengaja untuk memodifikasinya. Namun terlepas dari itu, apapun selalu membawa dua sisi, baik dan buruk. Baiknya adalah tentunya industri kuliner semakin berkembang dengan citarasa yang berkembang pula. Buruknya tak banyak penghargaan yang muncul sebagai akibat tak banyaknya dan tak umumnya resep makanan yang dipatenkan sebagai bagian kekayaan intelektual.

Jaman telah berkembang, telah banyak muncul chef-chef muda yang cukup terkenal dalam kancah perkulineran. Tak asing ditelinga kita nama-nama seperti Chef Farah Queen, Chef Marinka, Chef Degan, Chef Arnold, Chef Putu Ika dan beberapa nama chef lainnya. Chef tidak sekedar sebagai sebuah profesi namun sudah dianggap sebagai gelar, yang selalu melekat pada nama seperti ibaratnya dokter dan profesor. Pekerjaan rumah terbesar para chef ini tidak saja mewarisi apa-apa yang sudah dikreasikan oleh para chef tradisional tadi yang terpenting adalah bagaimana mengamankan dan mengembangkan resep-resep tradisional yang adiluhung agar dikenal dan menjadi cita rasa internasional.

Last modified on Monday, 04 May 2015 22:00
Super User

Tolong komentar dengan kata-kata yang tidak menyinggung

Login to post comments