Kekhawatiran ini terasa wajar ditengah kecenderungan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan pemimpin politik saat ini. Survey yang dilaksanakan oleh CSIS di awal tahun 2012 yang dirilis oleh Antara News pada tanggal 13 Pebruari 2012 menunjukkan tingkat penurunan kepercayaan terhadap partai politik cenderung meningkat. Tiga partai besar yang sedang dan pernah berkuasa yaitu partai Demokrat, PDI dan Golkar mengalami penurunan yang siginifikan sejak Pemilu tahun 2009, dan bahkan 48,4% pemilih tidak memiliki pilihan ketika ditanya partai mana yang akan dipilih. Kepercayaan terhadap pemimpin yang berakar dari partai nampaknya mulai menurun. Hal ini juga disebabkan sejak era reformasi semakin banyak elit-elit partai yang terlibat dalam korupsi secara masiv.
Kemenangan Joko-Wi dan Ahok dalam quick count pilkada DKI Jakarta menunjukkan terjadinya pergeseran pada detik-detik terakhir pemilih”swing voters’ terhadap kandidat yang dipilihnya. Kekuatan figure kandidat nampak lebih dominan dalam proses pilkada saat ini, tokoh-tokoh independen ternyata bisa mengungguli tokoh-tokoh dari partai yang memiliki dukungan financial yang kuat. Kembali ke aspek keteladanan, kurangnya figure yang dapat dipercaya akan berdampak buruk pada perkembangan demokrasi, apalagi figure-figure tersebut berasal dari parpol. Bila ketidakpercayaan terhadap parpol semakin melebar, dapat dibayangkan pergerakan mesin demokrasi akan lambat laun terhenti. Seburuk-buruknya eksistensi parpol, namun tidak dapat dipungkiri keberadaan parpol lebih dapat mengontrol pergerakan bola-bola liar perpolitikan dan kekuasaan yang ada, daripada semua kandidat berasal dari jalur independen.

Figure yang tepat tentunya tidak hanya figure yang terkenal kesuksesannya di bidang ekonomi dan karena kekayaan finansial serta berdasarkan garis keturunan dan kekerabatan tetapi figure pemimpin harus bisa menciptakan nilai-nilai keteladanan positif yang tepat bagi masyarakat. Keteladanan yang ditunjukkan melalui prilaku kepemimpinan sehari-hari, bukan hanya melalui perkataan saja. Pemimpin harus ‘walk the talk’, sesuai antara perkataan dan perbuatan. Pemimpin yang gagal, adalah pemimpin yang tak mampu mengontrol hawa nafsunya, keserakahannya, niat negatifnya, serta kehausannya akan prestise dan kekuasaan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menyelaraskan kekuatan intelektualnya, kekuatan emosionalnya serta keyakinan akan nilai-nilai Ketuhanan, dan merealisasikannya dalam tindakan sehari-harinya.
Ternyata untuk menjadi pemimpin yang memiliki karakter positif tidaklah mudah, pertentangan bathin sebagai manusia normal serta pengaruh lingkungan yang cenderung lebih besar kadangkala membuat pemimpin yang tadinya memiliki integritas tinggi lambat laun tergerus oleh dorongan eksternal yang kuat. Pemimpin harus menamengi dirinya dari kepentingan eksternal yang kurang baik. Dan demi pencarian figure yang tepat, lingkungan hendaknya dapat membantunya.
Secara sederhana untuk menjadi pemimpin yang baik, hendaknya menghindarkan prilaku2 yang kontradiktif. Menyarankan untuk tidak korupsi, tapi justru melakukan. Menyarankan untuk berbagi, tetapi justru pelit. Menyarankan untuk selalu berbuat baik, tapi mengingkari. Berniat menjadi pelayan, justru minta dilayani. Menyarankan untuk disiplin tapi menjadi orang pertama yang melanggarnya. Akankah figure ini dapat dipercaya dikemudian harinya? Saya yakinkan jawabannya adalah tidak, walaupun awalnya muncul kepercayaan, tapi lambat laun jal tersebut akan segera memudar. Jadi mencari pemimpin yang baik pada dasarnya langka, namun ditengah kelangkaan tersebut kita masih meyakini bahwa hal itu ada.
Secara kenergaraan dan kebangsaan, payung hukum terhadap munculnya figure-figure independent serta berasal dari parpol yang memiliki kredibilitas dan integritas yang baik harus diciptakan, mengingat di era perpolitikan tidak menutup kemungkinan akan ada upaya jegal-menjegal kepentingan karena berkaitan dengan kekuasaan dan uang. Disamping itu para penjahat politik dan pelaku criminal yang terlibat dalam praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan nepotisme semaksimal mungkin tidak diijinkan untuk bebas melakukan sepak terjangnya dan bahkan dipilih sebagai menjadi pemimpin ataupun wakil rakyat. Pendidikan politik yang baik perlu digalakkan, sehingga mata rakyat akan semakin terbuka lebar ketika memilih figure wakil dan pemimpinnya.
Perlu adanya gerakan moral bersama untuk menggaungkan kepemimpinan yang berintegritas, memiliki character yang baik, bertindak berdasarkan nilai-nilai moral dan hukum, serta mampu menjadi teladan positif bagi masyarakat. Masyarakat yang sadar haruslah menjadi penggerak moral dari proses pencarian ini dan tidak hanya diam dan pasrah, walaupun diam dan pasrah juga merupakan pilihan…now or never…