Seperti layaknya sebuah permainan bola, keberadaan penjaga gawang adalah agar pemain lain dapat fokus melakukan penyerangan. Penyerangan yang bertujuan untuk mencetak keunggulan dengan menjaringkan sebanyak-banyaknya bola di gawang lawan. Dapat dibayangkan bila pemain lainnya hanya fokus pada mengamankan gawangnya sendiri tanpa upaya membangun serangan, ini yang dikatakan sebagai kondisi bertahan. Bertahan juga merupakan sebuah strategi yang sering dipergunakan ketika tim telah banyak memasukkan bola kekandang lawan, atau juga menghindarkan kemasukan yang lebih besar di gawang sendiri. Tapi kembali itu hanyalah sebuah strategi menuju kemenangan atau menghindarkan diri dari kekalahan telak. Sebenarnya, semakin berfungsi peran anggota tim yang lainnya tentunya semakin ringan tugas penjaga gawang.
Akhir-akhir ini juga kita banyak temukan bahwa penjaga gawang juga diberi peran sebagai kapten tim, sebuah jabatan kepemimpinan dengan hirarki tertinggi di tengah-tengah lapangan, dengan salah satu pertimbangan bahwa penjaga gawang adalah orang yang secara posisi memiliki pandangan yang terluas, dapat melihat kelemahan-kelemahan dasar timnya dari segala sudut dan dari sudut yang lebih luas dibandingkan rekan2nya. Penjaga gawang adalah orang yang berada pada garis terbelakang, dan secara kodrati tidak diberi peran untuk melihat kebelakang. Ia harus selalu melihat kesamping dan kedepan. Dia juga mengarahkan kearah mana bola akan diberikan setelah dia menangkapnya, menendang atau melemparnya.
Bila kita identikkan dengan organisasi modern, masing-masing posisi diyakini memiliki perannya masing-masing, dari piramida hirarki tertinggi hingga terendah memiliki tanggung jawab atas keberadaanya dalam organisasi. Secara ideal diyakini tak satupun yang berpangku tangan sementara yang lainnya bekerja untuk menjaga gawang. Walaupun semua memiliki kewajiban masing-masing, tetapi menjaga gawang secara bersama-sama haruslah menjadi kewajiban bersama.
Bagaimanakah kenyataan dalam prakteknya? Tanpa kita sadari bahwa banyak fungsi dalam organisasi masih bergerak secara sendiri-sendiri. Masing-masing membentuk cilo-cilo, yang seolah-olah tak saling berhubungan. Masing-masing memegang perannya bak kacamata kuda, dengan mengabaikan keberadaan fungsi lain. Dalam kerangka berfikir systemik dirasa hal ini adalah kurang tepat, mengingat pencapaian sasaran organisasi secara total, tak mungkin dapat dicapai oleh elemen-elemen yang bergerak secara parsial. Atau dengan kata lain, efektivitas pencapaian sasaran akan tak sempurna bila tak didukung oleh sistem supply chain yang memadai.
Bila supply chain tak berjalan normal, akan membuat para penjaga gawang akan kesusahan untuk menjaga gawangnya dari tekanan-tekanan baik yang terjadi dari internal maupun eksternal. Contoh konkret dari hal ini adalah peran manajemen lini sebagai HR manager. Tak banyak yang menyadari peran tersebut dan bahkan tidak sedikit yang mengabaikannya. Akan menjadi suatu beban besar ketika para atasan menempatkan aspek SDM, sebagai bagian dari tugas HR dan bukan tugas mereka. HR sebagai penjaga gawang organisasi membutuhkan peran serta aggota organisasi lainnya untuk terlibat membantu agar penjaga gawang dapat bekerja dengan baik, demikian juga sebaliknya.
Tidak hanya berbagi peran, manajemen lini juga dalam bekerja harus fokus dalam dua hal mendasar yaitu managing job dan managing people. Semakin tinggi hirarki organisasi maka semakin besar fokus perhatian ditujukan kepada pengelolaan manusia daripada pekerjaannya sendiri. Semakin banyak waktu yang dipergunakan untuk berkomunikasi dari pada menjalankan tugas-tugas dalam rangka fungsinya masing-masing. Termasuk dalam proses ini adalah dalam hal penentuan target-target organisasi yang harus dicapai oleh bawahannya. Ada kesalahan mendasar yang sering dilakukan dalam penentuan target. Banyak atasan cenderung konservatif dengan menggunakan strategi bertahan melalui penetapan target-target yang kurang menantang dengan dasar kekhawatiran bahwa target tersebut tak tercapai, sehingga jalan satu-satunya adalah menempatkan target dalam posisi aman. Kesalahan yang terjadi didasarkan pada kondisi bahwa, adalah lebih fatal bila kita memberikan target terlalu rendah dan karyawan dapat mencapainya dibandingkan dengan menetapkan target yang spektakuler karyawan tak mampu mencapainya. Keunggulan dari penetapan target yang spektakuler bertujuan untuk memunculkan dorongan untuk mengekplorasi kemampauan karyawan secara lebih maksimal.
Sejalan dengan perkembangan waktu, pengelolaan SDM tidak lagi bertumpu hanya hal-hal yang sifatnya operasional saja, tetapi HR juga mulai merambah pada aspek-aspek pengkajian terhadap key position dalam organisasi. Banyak muncul konsep-konsep baru yang mengalami proses evolusi secara intensif. Konsep Performance based , telah berkembang menjadi konsep kompetensi based, dan sekarang tak mungkin kita abaikan adalah munculnya konsep Talent based secara masiv dilingkungan perusahaan. Tanpa bermaksud untuk merendahkan pergerakan tersebut, diyakini atau tidak, tak banyak perusahaan mampu menjabarkan semua konsep tersebut dalam operasi sehari-hari mereka. Banyak yang hanya menjalankan konsep tersebut secara sederhana, tapi telah berusaha bergerak ke konsep lainnya.
Apapun konsep pengembangan SDM yang dipergunakan baik itu performance based, kompetensi based ataupun talent based, hendaknya diterapkan selaras dengan pencapaian sasaran organisasi. HRD bukanlah menara gading yang berusaha menciptakan gagasan-gagasan pengembangan SDM yang dalam prakteknya tak mudah untuk dilakukan dan bahkan tak mudah dapat dicerna oleh semua elemen organisasi. HRD harus menciptakan program yang benar-benar dibutuhkan oleh setiap elemen organisasi dalam mencapai sasaran secara keseluruhan.
Karyawan kedepannya akan tumbuh menjadi karyawan yang lebih terdidik dan terpelajar, dan bahkan akan tumbuh menjadi karyawan pembelajar. Bagaimana organisasi dapat mengimbangi kondisi tersebut, tergantung bagaimana setiap organisasi memandang fungsi mereka masing-masing. Apakah mereka akan bergerak secara cylo-cylo ataukah akan membantu penjaga gawang untuk tidak kebobolan. Bila pilihan untuk menjadi bisnis partner yang dipilih, tentunya para penjaga gawang akan sedikit lebih tenang, dan dapat lebih merenung program-program strategis apa lagi yang bisa di ciptakan ke depannya.