Tumbuhnya serikat pekerja ini juga diwarnai oleh ketidak percayaan para pekerja kepada satu-satunya wadah tunggal serikat pekerja/buruh pada saat itu (FSPSI) berdiri tahun 1973, yang lebih dipandang sebagai perpanjangan tangan rejim orde baru dalam mengontrol peran pekerja/buruh, dan lebih sebagai upaya kamuflase kepentingan komunikasi internasional dimana dengan adanya FSPSI memberikan pesan bahwa pemerintah Indonesia tidak alergi adanya serikat pekerja atau tidak melarang berdirinya serikat pekerja di Indonesia. Walaupun di awal tahun 90-an telah berdiri 2 serikat buruh independen yaitu Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBM-SK) tahun 1990 dibawah pimpinan HJC. Princen, dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) tahun 1992 dibawah pimpinan Mochtar Pakpahan, tetapi keduanya tidaklah diakui oleh pemerintah. Angin segar berhembus ketika pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5 tahun 1998, melakukan reformasi perburuhan dengan memberikan keleluasaan berdirinya Serikat Buruh, sekaligus meruntuhkan rejim tunggal organisasi buruh di Indonesia. Momentum ini benar-benar dimanfaatkan oleh para tokoh serikat pekerja pada saat itu, yang tidak mendapatkan ruang yang cukup pada masa orde baru sebelumnya.
Reformasi perburuhan ini diperkuat oleh adanya ratifikasi terhadap Konvensi ILO no. 87 tentang kebebasan berserikat oleh pemerintah B.J. Habibie dan semakin diperkuat oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan diundangkannya Undang Undang No. 21 tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus tahun 2000, tentang Undang-Undang Serikat pekerja yang mengatur tata pembentukan, keanggotaan , pemberitahuan dan pendaftaran serta hak dan kewajiban pekerja dan serikat pekerja. Manfaat dengan dibukanya kran ini bagi pemerintah adalah banyaknya organisasi yang bisa menampung bola “liar” masalah-masalah perburuhan pada awal krisis ini dan bisa menyalurkan secara konstruktif dan terstruktur kepada pemerintah sehingga tidak berujung pada demontrasi yang cenderung mengarah kepada anarki, yang dapat merugikan perkembangan bisnis saat itu.
Disisi lain eforia kebebasan berserikat yang diterima oleh pekerja/buruh belumlah searah dengan visi pemerintah tersebut. Pekerja lebih fokus pada 2 isu real saat itu yaitu bagaimana mendapatkan pekerjaan dengan lebih mudah, menggeser posisi dari pengangguran menjadi status bekerja serta bagaimana mempertahankan pertumbuhan upah yang selalu mereka anggap tertinggal dibandingkan dengan pertumbuhan harga-harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, maka pertumbuhan keanggotaan Serikat pekerja/buruh pada awal reformasi cenderung tumbuh pada sektor industri yang cukup rentan terhadap krisis yaitu sektor manufaktur, pertambangan dan perkebunan, dan juga sector perbankan.
Peran serikat buruh pada fase awal cenderung idealistik, dengan memperjuangkan ide-ide yang cukup “membumi” seperti penentangan terhadap PHK, kenaikan upah serta perluasan lapangan kerja. Ibarat “api” dalam “minyak” pekerja, ide tersebut sangat mudah dapat diterima oleh para pekerja. Namun ada nuansa kontradiktif, walaupun pertumbuhan serikat pekerja/buruh cukup subur, namun dirasa mereka masih bermain dalam “periuk” yang sama. Banyak serikat buruh/pekerja yang berebut anggota pada satu perusahaan yang sama, sehingga fenomena satu perusahaan terdiri lebih dari satu serikat pekerja/buruh mulai bermunculan pada fase-fase awal perkembangannya. Data resmi menunjukkan hingga akhir tahun 2007 ada 3 Konfederasi Serikat pekerja (KSPSI, KSBSI dan KSPI) dan tercatat ada 86 federasi SP/SB, serta ribuan SP/SB dalam lingkup perusahaan (SPTP). Sedangkan secara Nasional berdasarkan data terbaru Pusdatinaker Depnakertrans RI, tahun 2008, tercatat dan telah secara resmi didaftarkan sebanyak 12.138 Serikat pekerja, 160 Federasi Serikat Pekerja dan 56 Konfederasi Serikat Pekerja yang memiliki perwakilan disebagian besar provinsi di Indonesia (jumlah ini bisa merupakan afiliasi terhadap konfederasi yg sama).
Sejalan dengan perkembangan waktu, Arah perkembangan SP dan SB semakin meluas yang tadinya hanya bergerak di sektor manufaktur lambat laun meluaskan jaringannya hingga ke sektor Jasaperdagangan, keuangan, transportasi, pos, kelistrikan,perkebunan, dan lain-lain, dan bahkan juga pada perusahaan-perusahaan yang berstatus badan usaha milik negara. Demikian juga eskalasi keanggotaanya, tidak hanya kaum kerah biru (pekerja level bawah) tapi sudah merambah kaum kerah putih (eksekutif atau manajerial). Dampak pergeseran ini terlihat dari pola pengembangan SP/SB yang cenderung lebih modern dan progresif. Pada awalnya SP dan SB dominan di pimpin oleh tokoh-tokoh informal yang memiliki kesan kepemimpinan yang berakar kuat, oleh karena tumbuh dalam iklim yang sama dan bener-benar dari bawah. Ide perjuangan cenderung bersifat mikro berdasarkan phenomena nyata kehidupan pekerja di dalam sebuah perusahaan. Penyelesaian konflik industrial antara pekerja dan pengusaha merupakan tempat yang empuk bagi pemimpin buruh informal ini, dan merupakan ajang pencitraan diri guna posisi pada level yang lebih tinggi. Namun sejalan dengan perkembangan waktu, pemimpin SP/SB saat ini telah dipimpin oleh tokoh-tokoh buruh yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan bahkan banyak diantaranya merupakan lulusan-lulusan perguruan tinggi asing, memiliki jaringan internasional yang kuat yang sangat memudahkan dalam pendanaan perjuangan mereka. Oleh karenanya, ide-ide yang dikembangkan tidak lagi bersifat mikro (dalam satu perusahaan), cenderung lebih makro dalam tatanan pemikiran perburuhan nasional. Posisi kepemimpinan buruh tersebut, memiliki posisi tawar yang lebih kuat dari pada pemimpin-pemimpin buruh sebelumnya. Oleh karenanya banyak sekali tokoh buruh dewasa ini menjadi incaran partai-partai politik, yang tidak hanya ingin mendapatkan ide-ide perjuangan buruh tetapi juga harapan dukungan yang bersifat masiv dari anggota serikat buruh yang dipimpinnya.
Dalam konteks dukungan yang masiv ini, dimana disertai kemunculan figure-figure pemimpin buruh yg kharismatis, juga menjadi ajang “lirikan” dan perebutan kepentingan dari parpol yang ada. Ini tidak terlepas dari tiga orientasi yg menjadi focus dari perjuangan Buruh yaitu perjuangan kelas, perjuangan social dan pasar.. Banyak tokoh buruh yg memiliki kedekatan fisik dan bathiniah dengan partai politik tertentu, dan bahkan tidak sedikit yang tergoda masuk ke jalur birokrasi dengan menjadi penasehat di lembaga2 pemerintah yg mengelola masalah ketenagakerjaan dan juga komisaris di beberapa BUMN. Dengan masuknya buruh dalam lingkaran politik diharapkan perwakilan Buruh dapat mengimplementasikan strategi perjuangan kelas yg dapat mempengaruhi proses dan output kebijakan politik di bidang perburuhan. Pergeseran kepentingan dari pergerakan buruh yg awalnya hanya bermain dalam tataran organisasi perusahaan lambat laun bergerak kearah pembuatan kebijakan.
Sejak di lahirkannya UU yg mengatur pendirian serikat pekerja, banyak serikat pekerja baru muncul oleh karena mudahnya syarat pendirian serikat pekerja/buruh yg hanya membutuhkan minimal 10 pendukung, juga banyak para pekerja yg merasa tidak terwakili kepentingannya oleh serikat pekerja yang ada. Akibatnya seringkali kita temui di satu perusahaan terdiri lebih dari satu serikat pekerja. Tentunya hal ini sedikit merepotkan pengusaha ketika harus menghadapi lebih dari satu serikat pekerja dalam perusahaan yg belum tentu memiliki visi dan misi yg sama dalam pengembangan organisasinya. Perang ide dan gagasan seringkali muncul diantara serikat pekerja dalam rangka memperoleh dukungan dari anggotanya, anggota serikat pekerja lainnya, maupun dari pekerja yg belum bergabung dalam serikat pekerja. Yang terjadi adalah sering berlarut-larutnya pengambilan keputusan dalam rangka penyusunan PKB oleh karena keinginan untuk menempatkan misi Perjuangkan pasar dimana para pekerja ingin diposisikan sebagai elemen kunci dari kemajuan perusahaan dan pembela pekerja lain dalam hal kesejahteraan.
Perjuangan buruh dalam konteks pasar dan kelas, telah merobohkan tembok-tembok pembatas keorganisasian perusahaan. Banyak serikat buruh yg berafiliasi dengan serikat buruh diluar perusahaan dan ini menunjukkan adanya keinginan bahwa perjuangan buruh tidak hanya berhenti pada tataran perusahaan dimana mereka bekerja. Mereka ingin berperan sebagai agen social, yang berusaha menghubungkan peran personal mereka dengan peran social mereka di masyarakat. Oleh karena itu banyak sekali isu-isu dalam satu perusahaan dapat dengan mudah menggelinding ke perusahaan lainnya. Wujud eksistensi dan pengakuan social sering mewarnai berbagai demo buruh atau pekerja akhir2 ini. Banyak kita temui, demo buruh yang menutup akses-akses public oleh karena perjuangannya ingin dikenal atau diketahui oleh masyarakat, walaupun bentuknya cenderung tak simpatik, namun beberapa demo yg terjadi sempat membuat ‘gerah’ birokrasi pembuat keputusan. Ekses dari perjuangan social juga ada, banyak sekali juga kita dengar, buruh/pekerja yg mengalami bentrok dengan pekerja lain oleh karena kesalahpengertian tentang peran social itu sendiri. Sweeping-sweeping liar banyak dilakukan untuk menarik simpati, yg sebenarnya tidak simpatik.
Begitu energik dan masifnya gerakan buruh/pekerja ini, membuat beberapa perusahaan menjadi lebih concern terhadap gerak-gerik pekerjanya. Langkah-langkah restrukturisasi organisasi dan program dilakukan secara energic dan masiv juga. Banyak perusahaan membentuk departemen atau seksi yg mengelola langsung masalah organisasi pekerja ini. Mereka merasa perlunya adanya organisasi yg berinteraksi secara intens dengan pekerja. Perkembangan ini sedikit merisaukan dari sudut pandang komunikasi oleh karena peran-peran komunikasi yg dahulunya dilakukan oleh atasan sedikit demi sedikit bergeser kearah serikat pekerja. Akibatnya pola komunikasi atasan cenderung yang bersifat formal yaitu yg berkaitan dengan tugas dan target kinerja saja.
Bila dicermati resiko yang dihadapi oleh pengusaha terhadap phenomena perburuhan ini tentunya semakin meningkat. Oleh karenanya banyak perusahaan menempatkan masalah ini sebagai bagian dari resiko bisnisnya (Risk Management). Apakah itu Risk management dalam konteks hubungan industrial? Dalam penataan peran hubungan industrial, perlu disiapkan adanya satu platform bersama yang berisikan pemetaan terhadap kondisi bisnis dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghalangi proses bisnis dapat berjalan dengan baik dilihat dari perspektif ketenagakerjaannya. Menyatupadankan antara pemetaan kondisi saat ini dengan kondisi harmonisasi pada masa yang akan datang menjadi PR bagi semua lini manajerial. Manajemen puncak organisasi sangat meyakini bahwa harmonisasi dan kondusiftnya hubungan antar stake holder adalah salah satu kunci utama keberhasilan organisasi perusahaan tersebut.
Oleh karena ini banyak program dirancang oleh bagian hubungan industrial, baik itu sendiri maupun bersama-sama serikat guna menjaga hubungan yg harmonis ini. Secara konseptual risk management dalam konteks hubungan industrial dibagi menjadi dua kajian yaitu internal risk dan external risk. Internal risk adalah resiko yg mungkin muncul akibat stimulus yang datangnya dari dalam organisasi seperti resiko yg berkaitan dengan produksi, penjualan, kebijakan pengelolaan organisasi serikat pekerja, komunikasi keorganisasin dan juga event-event perusahaan. Sedangkan external risk lebih mengacu kepada resiko yg muncul dari luar, sepertinya perubahan-perubahan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, ketenagakerjaan, maupun di bidang siosial politik. Kesemua risk ini haruslah di petakan dan dijadikan kerangka pijakan dalam merumuskan kebijakan perusahaan secara umum maupun yg khusus menyangkut ketenagakerjaan.
Isu- isu sentral perjuangan buruh saat ini, selain system pengupahan adalah terutama berkaitan dengan keamanan bekerja, status karyawan outsourcing dan jaminan social bagi pekerja. Isu ini sangat keras gaungnya, oleh karena itu setiap perusahan mersa perlu untuk menempatkan isu ini sebagai pemetaan yg utama dari risk managementnya. Setiap perusahaan hendaknya menempatkan risk management dibidang hubungan industrial sebaga salah satu “rambu-rambu” yang mengguide organisasi menuju arah yang lebih baik, dengan meniciptakan program-program yg tepat dan menempatkan focus hubungan industrial sebagai suatu yg penting dan bukan yg bersifat sambilan.