Humor is a rubber sword - it allows you to make a point without drawing blood
~ Mary Hirsch
Seorang teman pernah menanyakan sebuah “joke” kepada saya. Coba sebutkan salah satu profesi yang membuat si pemegang profesi punya tiket masuk surga? Jawaban singkat disertai mimik ragu-ragu meluncur dari mulut saya saat itu. Dokter, eh nggak deh, insinyur, hmm bukaaannn, presiden, jelas belum tentu, ulama, ya nggak semua…, kira-kira profesi apa ya yang seperti itu? Sambil menunggu jawaban dari penanya, otak saya terus berfikir hingga suatu titik buntu. Nyerah deh. Ternyata teman punya jawaban sendiri, walaupun tetap bisa diperdebatkan. Dengan sedikit tersenyum ia menjawab,” Pelawak” teriaknya. Loh kog pelawak kata saya. Pelawak membuat orang tertawa bahagia. Pelawak membuat orang menjadi gembira… Ha..ha, masuk akal juga, itupun kalau lawakannya lucu.
Beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 23 September 201, Presiden meresmikan dua proyek infrastruktur monumental di Bali, yaitu jalan tol tengah laut pertama di Indonesia yaitu Bali Mandara yang menghubungkan antara Nusa Dua dan Benoa, serta satu proyek prestisius lainnya yang jelas-jelas disiapkan dalam rangka APEC yaitu perbaikan besar-besaran Bandara Internasional Ngurah Rai. Uniknya proyek tol yang panjangnya 12,9 km sama dengan Penang Bridge di Malaysia dan Union Bridge di Kanada ini, dapat diselesaikan hanya dalam waktu kurang dari 1 tahun, dan semua teknis konstruksinya dikerjakan langsung oleh insinyur Indonesia. Demikian juga Bandar Ngurah Rai yang sudah lebih dari 20 tahun terlihat kucel, namun sudah memberikan devisa milyaran dollars ternyata selesai hanya dalam waktu 1 tahun saja. Loh kog ternyata bisa. Kondisi ini sangat kontradiktif dibanding proyek-proyek lainnya baik itu yang dikelola oleh pusat maupun daerah. Apakah renovasi ini gara-gara kita akan menerima puluhan Kepala Negara dalam rangka pertemuan APEC. Kahawatir jalanan macet atau malu kalau bandar udaranya “jadul” dan kotor. Sepertinya jawabannya adalah ya. Ternyata proyek yang bersifat “under pressure” membuat kita bisa. Kalau begitu sebaiknya kita lebih sering ter under presure.
Layaknya sebuah ironi, proyek infrastruktur jalan non tol ruas Casablanka-Kampung Melayu yang panjangnya hanya 3.3 km dan lokasinya di pusat pengambilan keputusan ternyata dikerjakan lebih dari 2 tahun, molor hingga 1 tahun lamanya dari target yang ditetapkan, itupun setelah di paksa-paksa untuk segera diresmikan. Dan setelah diresmikan pun terlihat belum tuntas penyelesaiannya terutama pada bagian bawahnya yang masih menyisakan pekerjaan tambal sulam serta taman yang dibuat seenak-enaknya ibarat kejar setoran. Apakah fenomena ini sebuah lawakan, kalau ya, patutlah kita tertawa bersama, dan pelawaknya tentu sudah punya tiket masuk surga. Itupun kalau kita katagorikan lawakannya lucu dan menghibur.
Selama beberapa hari ini, di awal Januari 2014, Jakarta, Ibukota Negara, layaknya sebuah danau yang luas, bak penampungan air yang tak memiliki drainase yang layak untuk menyurutkan airnya. Dan bahkan, kaidah-kaidah ukuran scientific seperti satu meter, dua meter, tiga meter dan lain-lain tidak lagi populer untuk menggambarkan berapa tinggi air dari permukaan tanah. Ukuran-ukuran berubah menjadi ukuran sinikal yaitu semata kaki, selutut, sepinggang, sepinggang orang dewasa, sedada, seleher, dan atau se atap. Banjir sepertinya sudah menjadi bagian dari hiruk pikuk problematika Jakarta, dan selalu jadi jargon pemenangan pilkada dan momok ketika sudah berkuasa. Banjir adalah phenomena yang merugikan tapi lemah komitmen penanggulangan. Berapa ratus milyar yang harus dikeluarkan pemerintah baik saat banjir maupun pasca banjir, belum termasuk yang dikeluarkan masyarakat untuk menanggulangi masalah ini. Tak terlihatnya komitmen pencegahan banjir ditunjukkan dari begitu mudahnya pemerintah DKI dalam memberikan ijin pembangunan mall, terlalu lemahnya pengawasan terhadap pendirian bangunan yang juga menutup drainase, tiadanya strategi pembangunan yang berwawasan lingkungan, kurangnya sinergi lintas daerah, kurangnya pengenaan sanksi terhadap yang melanggar serta lemahnya kemampuan penanggulangan bencana. Rasanya kita patut tertawa, karena masalah banjir ini frekwensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan tidak ada strategi komprehensif bagaimana mencegah banjir. Kalaupun memiliki strategi, tak banyak yang dijalankan secara tuntas. Kembali, lawakan yang tak lucu berulang setiap tahunnya.
Phenomena sosial lainnya yang juga membuat kita tertawa adalah ketika terjadi silang pendapat antara pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat dalam menyikapi keluarnya Peraturan Pemerintah No 41 tahun 3013 tentang kebijakan produksi mobil murah atau lebih dikenal dengan nama LCGC (low cost green car), dimana terjadi penolakan oleh pemerintah DKI terhadap kebijakan tersebut karena khawatir akan semakin macetnya ibukota akibat banyaknya kendaraan yang akan lalu lalang. Sebelum adanya kebijakan ini, pemerintah DKI sudah disibukkan dengan upaya untuk menguraikan kemacetan lalu lintas yang dianalogikan sebagai benang kusut yang berdampak pada penurunan produktifitas dan inefisiensi. Pemerintah DKI menganggap bahwa yang harus diperbaiki adalah sarana transportasi massal dan bukannya menambah kendaraan pribadi. Disisi lain pemerintah pusat beranggapan bahwa rasio kepemilikan kendaraan pribadi secara nasional masih belum besar, sehingga pemerintah perlu memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memiliki kendaraan dengan harga murah dan ramah lingkungan, disamping itu Perpu ini ditujukan sebagai cikal bakal pembangunan mobil nasional. Namun ada yang dilupakan bahwa pembeli potensial kendaraan adalah penduduk di kota-kota besar seperti Jakarta, dan bukan penduduk pedesaan. Ternyata upaya DKI diikuti oleh propinsi yang pemimpinnya memiliki aliran politik yang sama. Walaupun disana masih sedikit kendaraan yang bersliweran di jalan-jalan mereka. Nah lho, jadi sebenarnya apa sih yang menjadi argumentasi penolakannya. Akhirnya wacananya adalah masalah politik dan bukannya masalah kemacetan.
Beberapa bulan lagi akan dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pilpres untuk memilih presiden. Namun jauh-jauh hari partai telah membuat daftar calon legislative yang telah ditetapkan menjadi daftar calon tetap. Namun uniknya ada calon wakil rakyat tersebut berasal dari artis yang terkenal karena dandanan yang seronok dan diisukan menikah siri dengan seorang artis dangdut. Dan banyak juga artis lain yang dicantumkan dalam DCT yang diragukan kepiawaiannya dalam berpolitik. Sebenarnya bukanlah menjadi masalah kalau calon itu berprofesi sebagai penyanyi dangdut. Yang menjadi masalah adalah apakah bangsa ini nggak punya stock calon pemimpin, dan sejauh mana partai politik telah melakukan program kaderisasi kepemimpinan, karena terlihat sekali bahwa pemilihan calon legislative dilakukan secara instant untuk mendapatkan suara rakyat dan pemenuhan calon perempuan hanya mengejar target minimum 30 % untuk lolos sebagai peserta Pemilu, sehingga siapapun yg mau jadi calon didaftarkan . Hal yang juga perlu diragukan dari pencalonan artis atau penyanyi dangdut adalah pemahaman penyanyi dangdut tersebut dalam hal tata pemerintahan. Apakah hanya dimanfaatkan sebagai vote geter saja? Apakah si penyanyi dangdut tak menyadari hal tersebut? Apakah partai tersebut tak memikirkan cemoohan masyarakat? Ataukah semua sudah bermuka Badak. Disisi lain, bila dilihat DCT, masih ditemukan banyak calon anggota parlemen 2014 yang berasal dari periode parlemen saat ini, padahal kinerja DPR saat ini dikategorikan sangat buruk. Dari 445 target program legislasi nasional (prolegnas) pada periode 2009 – 2014 yang tercapai hanya 130 atau hanya 29,2 %, bahkan banyak UU yang dihasilkan yang diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk ditinjau. Padahal selama 5 tahun DPR telah mengabiskan anggaran sebesar 11,8 T. Nah lho ternyata menjadi anggota DPR ibarat profesi bagi pencari kerja, dan bukan wakil rakyat yang memiliki idealism untuk membangun bangsa.
Phenomena yang juga tak kalah unik yang membuat kita tertawa gila adalah semakin banyaknya birokrat maupun swasta yang tertangkap tangan, tersangka dan atau patut diduga, atau terdakwa melakukan KKN. Beberapa kasus yang mencengangkan adalah pertama, tertangkapnya Akil Mochtar, Ketua MK. Kedua tersangkanya mantan wakil menteri ESDM Rudi Rubiandini, Ketiga, 2 (dua) Ketua Parpol, Anas Urbaningrum (Partai Demokrat) dan Lutfi Hasan Ishak (PKS). Keempat, terdakwanya 6 Jenderal/Purn Polisi, Jenderal Pol (purn) Rusdihardjo, Komjen (Purn) Suyitno Landung, BrigJend (Pol) Samuel Ismoko, Komjen (Pol) Susno Duadji, Irjen (Pol) Djoko Susilo, BrigJend (Pol) Didik Purnomo. Kelima, tersangkutnya 318 Kepala daerah (gubernur dan Bupati) sejak tahun 2004, diantaranya 17 Gubernur yaitu Mantan Aceh Abdullah Puteh, Mantan Gubernur Sumut Syamsul Arifin, Mantan Gubernur Kepulauan Riau Ismet Abdullah, Mantan Gubernur Riau Saleh Djasit, Gubernur Riau Rusli Zaenal, Gubernur Bengkulu, Agusrin H Najamudin, Manan Gubernur Sumatera Selatan Sjahrial Oesman, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiah, Mantan Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, Mantan Gubernur Kalimantan Selatan Sjahriel Darham, Mantan Gubernur Kalimantan Timur Suwarna AF, Gubernur Kalimantan Timur Awang Farouk Ishak, Gubernur Maluku Utara Thaib Armaiyn, Bupati Mandailing Natal Hidayat Batubara, Bupati Karanganyar Rina Iriani Ratnaningsih, Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, Bupati Mesuji Khamamik, Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus, Mantan Bupati Kendal Hendy Budoro, Bupati Buol Amran Batalipu, Walikota Bekasi Mochtar Muhammad, Wakil Walikota Cirebon Sunaryo, Walikota Salatiga John Manuel Mannopo, Bupati Subang Eep Hidayat, Bupati Lampung Timur Satono, Bupati Kerinci Fauzi Siin, dll. Saking banyaknya koruptor hingga ada satu website yang serius mengulas masalah ini yakni
www.InfoKorupsi.com . dan juga penjara juga penuh para selebriti korup dengan para pendukungnya yang selalu datang atas nama solidaritas. Bisa dibayangkan sebuah negara dipimpin oleh para kepala daerah yang memiliki integritas yang rendah, apakah kita harus tertawa ataukah harus menangis? Ternyata kemerdekaan bangsa ini dari penjajahan asing maupun penjajahan orde baru selama 4 abad ini dicederai oleh penerusnya atas nama demokrasi dan para pelawak yang tak lucu ini ingin mengajak kita untuk tertawa pedih. Ternyata banyak sekali pelawak yang tak memiliki tiket masuk surga di Negara kita tercinta ini.