Mungkin tak banyak orang mengenal, Tasripin bocah umur 12 tahun asal sebuah dusun kecil di desa Gunung Lurah Kecamatan cilongok kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang hidup bersama ketiga adiknya sebatangkara tanpa ditemani oleh kedua orang tuanya. Ibu Tasripin telah lama meninggal dunia, sedangkan ayahnya terpaksa merantau ke Kalimantan dengan kakak tertua, bekerja untuk mencari nafkah dan sekali sekali mengirimkan uang ke Tasripin, dan itupun tak selalu rutin. Untuk menghidupi kebutuhannya dan ketiga adiknya tersebut, dengan terpaksa Tasripin harus putus sekolah dan bekerja sebagai buruh tani harian di desanya.
Ditengah gembar gembornya pemerintah menyiarkan tingkat pertumbuhan ekonomi makro yang tinggi berkisar 6,5 %, namun dipojok yang sunyi seorang bocah yang seharusnya sedang menjalani masa kecil yang bahagia, bercengkrama gembira dengan teman-teman sebayanya, harus dengan susah payah menjadi buruh tani di desanya agar bisa menghidupi 3 orang adik kecil yang sebagian besar putus sekolah. Dengan hanya berpenghasilan tidak tetap sebesar Rp. 30.000 per hari, bocah ini berusaha untuk selalu dapat menghidupi makan adik-adiknya dan berusaha untuk membiayai pendidikan adik terkecilnya. Kedua adik yang lain juga harus putus sekolah karena ketiadaan biaya. Sosok Tasripin merupakan cerminan bagaimana kontrasnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia saat ini.
Beratus-ratus kilo meter disebelah barat dari Dusun tersebut, meringkuk dalam sel tahanan KPK sesosok Jendral yang selalu tersenyum bak artis di depan kamera media, yang mengemplang uang rakyat hingga ratusan milyar rupiah, dan yakin bahwa hukumannya hanya sekedar 2 atau 3 tahun lamanya seperti halnya koruptor pendahulu yang mengkorupsi uang rakyat ratusan milyar juga. Mungkin kita hanya bisa berandai-andai, andaikata 100 milyar uang yang di korupsi Jenderal tersebut dipergunakan oleh Tasripin yang mampu mengolah dengan segala keterbatasan Uang Rp. 30.000,- untuk menghidupi ketiga adiknya, maka mereka ber-empat bisa tercukupi hingga 3.333.333 hari atau 9.132,5 tahun lamanya. Kalau hidup manusia maksimal 100 tahun, dengan pola konsumsi dan jumlah pengkonsumsi yang sama maka bisa secara serial menghidupi Tasripin 91,32 turunan lamanya, dan bukan hanya sekedar tujuh turunan.
Beratus-ratus kilo meter disebelah timur laut, pada saat yang bersamaan, sedang diselenggarakan event gegap gempita bernilai ratusan milyar untuk saling merebut posisi pemerintahan dan menjadi raja penguasa di propinsi di mana Tasripin berada. Sangatlah ironis uang rakyat yang digulirkan untuk mensukseskan event tersebut, ternyata dapat menghidupi Tasripin Tasripin lain dengan jumlah tahun yang tentunya lebih fantastis lagi.
Sungguh Ironi yang menggelikan. Kalau begitu yang terjadi untuk apakah kekuasaan itu sebenarnya? Apakah ini wujud Keadilan BerkeTuhanan?
Ada kekhawatiran bahwa Tuhan hanya menjadi rujukan ditengah-tengah kepasrahan, sehingga argumentasi Tuhan itu adil, sedikit bisa menjadi penghibur. Padahal pada kenyataannya sudah banyak yang tak peduli atau bahkan tak mampu karena mengalami hal yang sama. Contoh konkret pada kasus Tasripin, dapatlah dipertanyakan bentuk kepedulian aparat dusun dan desa seperti apa?, demikian juga aparat kelurahan dan kecamatan, aparat kabupaten dan Gubernur. Apakah Raskin dan SKTM hanya gembar-gembor saja sehingga untuk jaminan sekolah saja tidak bisa, ataukah ternyata di daerah tersebut terlalu banyak Tasripin Tasripin lainnya sehingga terjadi kesusahan struktural untuk selalu “menyangoni” Tasripin ini.
Rasanya kita tidak bisa menyalahkan rakyat bila selalu berteriak, dimana negara? Dimana pemerintah? Rasanya kita juga tidak bisa memungkiri bahwa di negara ini mungkin banyak tasripin-tasripin lainnya. Namun yang kita sesali bahwa Tasripin-tasripin hanya selalu dijadikan jargon kepedulian ketika ingin merebut kekuasaan tanpa memahami esensi kekuasaan itu sendiri. Tasripin hanya menjadi figur kepedulian sesaat dari para tokoh nasional yang super berkecukupan. Tak lekang dari ingatan kita, begitu tergopoh-gopohnya aparat di NTT ketika muncul pemberitaan busung lapar di daerahnya. Begitu tergopoh gopohnya Gubernur Banten ketika jembatan penyeberangan sungai bagi siswa di daerahnya begitu membahayakannya dan menjadi pemberitaan dunia internasional. Begitu gusarnya rakyat ketika banyaknya SD yang ambruk ditengah-tengah besarnya dana pendidikan dalam APBN kita.
Ironi yang lain, bila kita rajin untuk membaca biography tokoh-tokoh terkenal dan memiliki kehidupan yang mapan di Indonesia, baik yang sedang menjabat maupun yang sudah purna tugas, 99 % tokoh itu mengaku lahir dalam keluarga yang penuh keterbatasan, bahkan banyak yang lebay mengaku lahir dari keluarga miskin dan tak berkecukupan, mengenaskan layaknya Tasripin, dan sekarang berhasil mencapai kesuksesan setelah berjuang kerja keras berpuluh tahun lamanya. Namun tak banyak yang peduli terhadap sejarah dirinya, ketika dihadapkan pada kasus yang sama. Adapun yang peduli mensyaratkan harus di depan kamera media bak artis dadakan yang berusaha menarik simpati demi ketenaran. Kepedulian ternyata sudah menjadi hal yang langka. Kepedulian sudah menjadi konsumsi “keartisan”.
Rasanya dahaga akan kepedulian sedikit terobati, ketika banyak dari tokoh-tokoh muda bangsa ini mulai memikirkan langkah-langkah terstruktur untuk membangun kepedulian. Tak asing bagi kita kiprah Anis Baswedan ketika membangun Yayasan Indonesia Mengajar, yang berusaha mendorong dan memberikan semangat bagi generasi muda untuk selalu menuntut ilmu, dan Andy F. Noya dengan Yayasan Kick Andy nya yang banyak membantu memberikan sumbangan bagi penderita cacat di seluruh nusantara. Semuanya kepedulian ditujukan untuk menerobos kepedulian yang mengalami kebekuan yang cukup lama di negeri ini.
Gerakan-gerakan kepedulian sebenarnya sudah banyak bermunculan, baik itu yang bergerak di sektor kesehatan seperti Yayasan Anyo Indonesia dan YKAKI yang bergerak membantu anak-anak penderita Kanker, Yayasan Thalasemia Indonesia yang membantu para penderita Thalasemia dan mensosialisasikan penyakit Thalasemia. Yayasan yang bergerak dan peduli di bidang Lingkungan seperti Greenpeace, Yayasan yang bergerak di bidang perlindungan anak dan perempuan seperti Yayasan Pusaka, Yayasan yang bergerak memberikan pembekalan bagi para pencari kerja seperti Yayasan Indonesia Berbakti, serta ratusan yayasan lain yang bergerak dibidang humanitarian dan hak-hak asasi manusia dan bahkan gerakan-gerakan sporadis seperti Koin untuk Prita dll.
Menarik apa yang dilakukan oleh Gus Dur ketika pada masa pemerintahannya, dalam hal banyak yang menggugat keputusannya untuk membubarkan Departemen Sosial. Beliau menganggap bahwa Departemen Sosial tidak diperlukan lagi, mengingat kepedulian sosial dapat dilakukan oleh semua elemen masyarakat dan semua instansi baik swasta maupun pemerintah. Yang perlu dilakukan adalah dengan mengalokasikan dana yang lebih besar untuk peran-peran corporate sosial responsibility dan bukannya membuat sebuah jalur birokrasi berbentuk kementerian sosial yang justru akan memperlambat kepedulian sosial itu sendiri. Pemikiran visioner Gusdur tentunya tak mudah diterima oleh para birokrat-birokrat dan politisi-politisi yang banyak mendapatkan keuntungan dengan keberadaan Departemen ini. Sehingga ide besar Gusdur begitu mudahnya tumbang. Hal ini menunjukkan bahwa Ide visioner terkalahkan oleh realitas pragmatis yang terjadi pada saat itu.
Kembali ke kondisi Tasripin, akankah pemerintah bergerak cepat untuk menemukan solusi terbaik dalam kasus ini yang dilakukan melalui perangkat resminya, baik itu otoritas Departemen Sosial ataukah Departemen Pembangunan Daerah tertinggal , ataukah hanya jargon-jargon kepedulian berbentuk himbauan dan lip service saja yang dilakukan, seperti yang selama ini dikritisi oleh masyarakat. Apakah dibutuhkan gerakan masyarakat yang masiv untuk menggantikan peran pemerintah, seperti yang terjadi pada kasus Prita Mulyasari. Kalau hal ini terjadi maka sangatlah benar argumentasi sebagian masyarakat bahwa negara ini adalah negara autopilot tanpa pengemudi dan tanpa pengendali.