Menarik rasanya menyimak sebuah papan pengumuman yang dipasang oleh pemilik tanah sekitar Jl. Dr. Satrio Jakarta yang berbunyi “TANAH INI TIDAK DIJUAL”. Sebentuk pengumuman singkat dari pemilik tanah yang menyatakan secara tegas pada siapapun yang membaca bahwa pada saat ini tanah itu tidak dijual. Mungkin sudah banyak calo / broker serta pembeli yang telah bertanya kepada pemiliknya, apakah tanah ini dijual? Daripada lelah untuk menjawab, lebih baik menyampaikan secara tegas. Hal ini merupakan sebentuk komunikasi yang sederhana, tetapi menggambarkan keinginan yang jelas dari komunikatornya. Penggunaan kata “tidak” dan bukannya “belum” juga menunjukkan niatan yang tidak memberikan peluang untuk melakukan sebuah tawar menawar.
Sebuah papan pengumuman kepemilikan property seperti yang di pasang di Jl. Dr. Satrio ini juga ingin mengisyaratkan kepemilikan secara legal dan formal terhadap asset tersebut. Tak satupun boleh mengklaim kepemilikan tanah tersebut tanpa bersinggungan secara moral dan hukum dengan pihak yang memasang pengumuman.
Kasus-kasus pertanahan di Indonesia umumnya dan di beberapa daerah cenderung meningkat akhir-akhir ini. Masih tak terlupakan dalam benak kita berlarut-larutnya pembebasan tanah untuk proyek Banjir Kanal Timur (BKT), berlarut-larutnya kasus Mesuji di Sumatera Selatan, kasus investasi Newmon, kasus-kasus tanah perkebunan yang bersinggungan dan tumpang tindih dengan tanah kepemilikan adat di hampir sebagaian besar daerah di Indonesia, dan yang paling up o date adalah kasus Hambalang di Bogor Jawa Barat, yang melibatkan beberapa petinggi partai dan pejabat pemerintah saat ini, ingin menegaskan kepada siapapun bahwa saatnya untuk tidak main-main dengan kepemilikan tanah.
Program percepatan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah SBY juga terkendala oleh susahnya melakukan pembebasan tanah. Perkembangan pembangunan sangat identik dengan kebutuhan akan tanah. Oleh karenanya ketika keran investasi dibuka, keluhan utama yang dirasakan oleh pengusaha adalah ketersediaan lahan untuk berinvestasi tanpa berujung konflik. Begitu besarnya keinginan pemerintah untuk memuluskan jalan bagi perbaikan infrastruktur yang terkendala menyebabkan pemerintah berencana mengeluarkan Peraturan Presiden yang mengatur tatacara pembebasan lahan untuk kepentingan umum, sesuai dengan yang direkomendasikan KEN.
Masalah “tanah dan air”, merupakan masalah yang sangat klasik dan fundamental, jauh-jauh sebelum kemerdekaan RI juga telah menjadi suatu yang krusial. Banyak peperangan terjadi antar kerajaan memperebutkan tapal batas wilayah kekuasaan juga menyiratkan masalah pertanahan ini. Demikian juga perpecahan antar keluarga sering terjadi oleh karena masalah perebutan atas waris tanah serta asset ekonomi yg berkaitan dengan tanah tersebut. Pengaturan pertanahan berkaitan dengan aspek politik dan kekuasaan juga pernah terjadi, seperti halnya penerapan Land reform kisaran tahun 60-an, yang berhubungan dengan isu kepemilikan dan pemerataan kepemilikan tanah oleh rakyat, merupakan taktik Partai Komunis untuk merebut hati rakyat saat itu. Upaya ini ditiru oleh pemerintah dengan format lain yaitu penggalakan program Transmigrasi, dengan memindahkan ribuan KK yang tinggal di daerah padat di Jawa dan Bali dan ditempatkan di beberapa wilayah di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, dimana setiap KK diebrikan tempat tinggal dan lahan kurang lebih 2 Ha, dengan harapan dapat menyebarluaskan pertumbuhan dan meniungkatkan kesejahteraan. Setelah orde baru tumbang, ternyata mulai muncul sengketa-sengketa pertanahan antara penduduk pendatang dengan penduduk asli daerah tersebut.
Secara alamiah pertambahan penduduk yang tidak disertai oleh pertambahan luas wilayah tempat tinggal dan lahan untuk mendapatkan penghasilan, tentu akan menjadi problem yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Sudah jarang dari kita mampu untuk menyatakan “tanah ini tidak dijual”, oleh karena tidak adanya tanah lagi yang bisa dijual maupun sudah menyusut karena dipakai sejalan dengan berkembangnya keluarga. Tanah juga sering dijadikan senjata pemungkas ditengah keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Banyak yang lebih memilih untuk menyingkir dari pusat kota dan memutuskan menjual tanahnya dan menetap dipinggiran oleh karena ketidakmampuan membayar pajaknya sekaligus kebutuhan yang semakin meningkat yang tidak sesuai dengan pendapatan perbulannya. Konflik waris tanah, banyak muncul secara generative, oleh karena banyak dari kita yang hanya bisa mengandalkan waris tersebut guna menyokong hidupnya saat ini, hingga perpecahan keluarga tak dapat dihindari. Begitu kompleksnya masalah ini berikut dampaknya, menjadi sebuah ironi ketika beberapa pemerintah wilayah atau daerah di perbatasan Indonesia yg dengan dalihnya masing-masing mau menjual tanah dan pasirnya ke Negara tetangga sebelah dengan alasan ingin meningkatkan pendapatan daerahnya. Very Ignominious!!