Kenapa hal ini saya selalu lontarkan? Mudik adalah suatu event tahunan yang cukup menarik untuk diamati, walaupun kadangkala peristiwanya seolah-olah itu-itu saja, namun bagi yang menjalaninya merupakan suatu yang dinanti-nantikan selama kurang lebih satu bulan lamanya berpuasa, dan bahkan banyak yang menunggu momen ini sebagai satu momen silaturahmi tahunan bagi keluarga mereka. Mereka memiliki dorongan untuk bersilaturahmi dan saking bermaaf-maafan dengan handai taulan, yang mungkin hanya bisa dilakukan melalui momen ini. Mungkin bisa menjadi sebuah pertanyaan yang menarik mengapa mudik bisa menjadi suatu event yang begitu meriahnya, padahal kenyataannya kita bisa lakukan kapanpun bila kita memiliki waktu dan uang untuk menjalankannya, tanpa menunggu event lebaran pun kita bisa lakukan. Tapi berbekal pengalaman memang kadangkala susah dibandingkan kenikmatannya, antara pulang mudik saat lebaran dengan mudik saat-saat hari biasa. Walaupun sedikit lebih crowded dan melelahkan, mudik saat lebaran cenderung lebih dirasa berkesan. Adanya kerinduan yang sedikit berbeda nuansa ketika mereka menjalani proses mudik lebaran ini.
Pergerakan manusia secara masiv memang terjadi pada saat menjelang satu atau dua hari sebelum lebaran, dan untuk mencapai keinginan tersebut persiapannya tidaklah dilaksanakan satu hari atau dua hari saja. Mudik sudah menjadi akumulasi emosi semua orang dan setiap rekan saling mempengaruhi satu sama lain dengan ide mudiknya, yang kadangkala dapat mempengaruhi emosi yang tidak mudik untuk tiba-tiba mengambil keputusan untuk mudik. Banyak yang merasa sedih tidak dapat menikmati moment ini, oleh karena merasa tidak lagi memiliki “kampung halaman”, oleh karena tiadanya keluarga utama yg harus dikunjungi, atau bahkan oleh karena jadwal ritual kunjungan yang dilakukan secara bergiliran.
Persiapan mudikpun dirancang sedemikian rupa, dari perencanaan awal dalam memutuskan apakah tahun ini akan mudik atau tidak, yang kadangkala sewaktu2 bisa berubah menjelang hari H-nya, transportasi apa yang akan digunakan, biaya yang akan dihabiskan, daerah yang akan dikunjungi, pengaturan waktu perjalanan hingga persiapan fisik ditengah-tengah suasana masih berpuasa. Semuanya tentunya dilahirkan oleh proses perencanaan yang tak sederhana. Mengapa kita dapat mengatakan tak sederhana? Tak bisa dipungkiri bahwa energi yang dibutuhkan adalah sangat besar, termasuk juga “ransum” dana yang harus disiapkan. Ditengah-tengah padatnya lalu lintas oleh karena pergerakan yang serentak dari moda transportasi dengan tujuan yang sama, menyebabkan waktu tempuh bisa dua hingga tiga kali dari waktu biasanya, namun hal ini tidaklah menyurutkan para pemudik untuk menjalaninya. Ternyata keinginan berlebaran di kampung halaman lebih besar daripada keletihan-keletihan yang dirasakan.
Fenomena mudik ini bagi bangsa ini bukanlah fenomena yang dapat dimengerti secara sederhana dan mudah, karena hampir sebagian besar energi anak bangsa tercurah dalam mendukung kegiatan ini. Bagaimana polisi secara rutin menyiapkan “operasi ketupat” dengan melibatkan puluhan ribu personilnya guna mengamankan event mudik ini setiap tahun tanpa henti. Bagaimana stakeholder perhubungan dalam menyiapkan moda transportasi darat, laut dan udara yang aman dan nyaman, serta meyakinkan konsumen akan terangkut semua, dan menjamin tidak melonjaknya tiket angkutan secara drastis karena alasan aji mumpung. Bagaimana pihak jasa marga, melakukan perbaikan-perbaikan jalan, walaupun tambal sulam, guna meyakinkan pemudik bahwa jalan yang dilaluinya terasa mulus dan tak bergelombang. Bagaimana Pelaku-pelaku bisnis otomotif, perbankan, dan produk-product konsumen, berlomba-lomba menyediakan fasilitas pendukung dan promo produk sepanjang rute perjalanan, dan terpaksa melemburkan pekerjanya agar bersedia bekerja dan ditempatkan disepanjang rute perjalanan yang tentunya disertai insentif tambahan diluar uang lembur umumnya. Bagaimana bengkel dan penyewaan kendaraan menjadi laris manis, karena para pemudik lebih memilih menyewa kendaraan agar lebih simple dan mobile ketika mengunjungi sanak saudaranya. Bagaimana PLN dan Pertamina serta perusahaan penyedia bahan bakar lainnya menjamin pasokan listrik dan bensin/premium tak akan tersendat guna mendukung perhelatan disertai tanpa malu-malu sedikit menaikkan harga premium dengan memanfaatkan momentum kebutuhan. Bagaimana media informasi cetak maupun elektronik secara gencar mengumumkan perhelatan ini keseluruh khalayak dengan menyebar wartawannya sepanjang titik perjalanan, sekaligus mencari berita-berita unik untuk menggandakan oplah. Bagaimana ibu-bu rumah tangga kerepotan secara mendadak, oleh karena kehilangan pembantunya dan harus menjadi “oshin” untuk periode waktu tertentu. Bagaimana para penyedia pembantu musiman menaikkan tarif pembantu infal, dengan memanfaatkan momentum kekosongan tenaga kerja untuk rumah tangga yang sangat bergantung pada pembantunya. Bagaimana obyek-obyek wisata disiapkan dan disulap secara mendadak guna mengantisipasi pengunjung yang haus akan hiburan. Bagaimana birokrasi pemerintah, dengan tanpa segan-segannya secara sedikit terselubung melakukan sidak keberbagai instansi perusahaan disertai emebl-embel kata-kata sakral “THR” dari perusahaan untuk mendapatkan pendapatan tambahan (ssstt... hal ini sdh menjadi rahasia umum....yg tak satupun mau dijadikan saksi untuk membuktikannya). Bagaimana para preman yang tergabung dalam ormas-ormas, tersenyum dan meniru “hal-hal baik” yang dilakukan birokrasi pemerintah untuk mendapatkan penghasilan tambahan, dengan alasan biaya keamanan. Dan yang terakhir, betapa pusingnya pemerintah melihat angka kematian akibat korban kecelakaan yang cenderung ratusan jiwa setiap tahunnya.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa fenomena mudik ini telah menggerakkan roda perekonomian Indonesia secara signifikan. Berapa puluh triliun uang yang beredar dimasyarakat saat itu dari transaksi yang dilakukan pemudik, berapa kenaikan inflasi sebagai akibat semua pelaku ekonomi memanfaatkan momen ini untuk mencari keuntungan dengan menaikkan harga produk dan layanan. Berapa pertumbuhan tenaga kerja musiman yang terdorong untuk menjadi tenaga infal ataupun menjadi pedagang dadakan. Berapa triliun rupiah kiriman uang TKI ke daerah-daerah asalnya, sebagai pengganti ketidakhadiran mereka di rumah.
Walaupun kompleksnya masalah mudik ini, para pemudik hingga saat ini masih merasa nyaman-nyaman saja dan menikmatinya sebagai bagian dari berkah tahunan yg tak perlu dipermasalahkan. Yang menjadi masalah sekarang adalah tinggal mengontrol bagaimana efek baliknya saja, dimana uang umumnya sudah mulai menipis, eforia lebaran telah terlewati, banyaknya rekan-rekan yang tak mudik mengharapkan oleh-oleh, waktu penggajian masih jauh, rumah yang ditinggalkan sedikit berantakan, adanya hukuman yang disiapkan oleh institusi perusahaan atau pemerintah bagi karyawan yang mangkir masuk kerja, dan tak kalah serunya adalah berapa sanak keluarga yang dibawa dari daerah ke ibukota dengan harapan secara instant memperoleh pekerjaan, dan dapat berharap suatu saat bisa petantang petenteng seperti keluarga mereka yang telah berhasil, walaupun mudik dengan mobil sewaan dan terlihat seperi orang yg memiliki kemapanan secara ekonomi dan sosial dimata keluarganya di daerah. Dan bagaimana pemda selalu mengadakan razia penduduk bagi pendatang musiman, untuk memperkecil pendatang yang tidak memiliki keterampilan, dan meminimasi tingkat kriminalitas kedepannya .
Namun satu hal yang bisa diambil hikmahnya dari fenomena mudik ini adalah kekuatan dan dorongan silaturahmi dengan sanak saudara dan handai taulan adalah sumber kekuatan yang maha dasyat yang mampu mengalahkan rintihan-rintihan keletihan, menipisnya keuangan, gambaran kesusahan dan penderitaan yang akan muncul selanjutnya, serta kemungkinan ketidakjelasan masa depan. Semoga para pemudik dapat memanfaatkan waktu mudiknya dengan sebaik-baiknya untuk tujuan membangun silaturahmi tersebut, dengan tetap berharap di tahun depan dapat melaksanakan kegiatan tersebut lagi secara berkecukupan.