×

Warning

JFolder::create: Could not create folder.Path: /home/semarawi/public_html/t3-assets/dev

Print this page
Rate this item
(0 votes)

Hidup di Jakarta bagi sebagian orang mungkin sebuah mimpi, ada harapan yang muncul ketika sesorang berbicara tentang Jakarta.  Terbayang oleh mereka adanya simbol-simbol kemakmuran disana, tapi bagi sebagian besar yang pernah tinggal di Jakarta, pandangan tersebut hanyalah sebuah fatamorgana. Jakarta adalah kota yang penuh dengan kemacetan, sudah bukan rahasia umum bila untuk menuju suatu tempat yg berjarak 2 atau 3 km, kadangkala membutuhkan lebih dari 1 jam perjalanan. “Tua di Jalan” sebuah istilah yang tak asing di telinga kita.

 
Sejalan dengan pembangunan yang sangat cepat, Jakarta menyisakan banyak masalah kota yang begitu peliknya. Disamping macet, ada beberapa masalah sosial yang sering muncul yaitu banjir, tawuran pelajar dan antar kampung (walaupun enggan disebut kampung), premanisme, pungli, dan yang tak kalah mengenaskan adalah masih banyaknya penduduk miskin yang tersebar di semua titik di Jakarta. Bukan suatu yang aneh bila kita setiap pagi akan menemukan banyak hal yang kontras di jalanan, disatu sisi banyak karyawan berdasi yang berlari-larian mengejar transportasi umum yang ada, disisi lain banyak peminta-minta di setiap titik persimpangan jalan, yang sangat susah sekali untuk diberantas.
 
Problem klasik.
 
Jakarta sudah menjadi kota “jasa”, karena hampir 70 % aktivitas penghuninya bekerja di sektor jasa. Sektor manufactur sudah bergeser ke kota-kota penyangga di sekitar Jakarta yaitu daerah yang dikenal sebagai daerah Bodetabekks (bogor, tangerang, bekasi,karawang dan serang). Walaupun sektor manufakturing yang menyerap tenaga kerja cukup besar, sudah bergeser, penduduk luar Jakarta masih saja banyak yang bekerja di Jakarta, dan bahkan juga yang hanya sekedar melintasi kota Jakarta. Hampir setengah penghuni Jakarta pada siang hari berasal dari luar Jakarta, baik mereka yang bergerak di sektor swasta maupun yang bekerja di sektor pemerintahan. Mereka berduyun-duyun pada pagi hari dan juga malam hari ibarat “semut yang beriring” menggunakan kendaraan roda dua, angkutan umum dan pribadi dan bahkan sepeda,  berusaha mengais nafkah di Jakarta. Bisa dibayangkan bahwa hampir setiap pagi dan juga malam hari kita temukan kemacetan dimana mana. Disamping tempat bekerja, pusat-pusat pendidikan yang memadai banyak beroperasi di Jakarta, walaupun murid atau siswanya berasal dari luar Jakarta. Hal ini juga menjadi satu problem tersendiri, mengingat adanya tambahan beban transportasi yang harus ditanggung dibanding ruas jalan yang ada. Jakarta tampak lenggang ketika musim liburan anak sekolah.Sehingga sering muncul opini dari para pengamat bahwa untuk membuat Jakarta terbebas dari kemacetan adalah dengan dua cara, yaitu : liburkan anak sekolah, dan satunya adalah  pindahkan ibukota pemerintahan keluar Jakarta.
Terlepas dari begitu ribetnya masalah ini , secara positif, sebenarnya Jakarta juga memberikan kesejahteraan bagi daerah penyangganya, dimana pola konsumsi sudah mulai  tersebar di daerah penyangganya. Sekarang daerah yang dahulunya terbelakang atau istilahnya “tempat jin buang anak”, telah tumbuh menjadi sentra ekonomi baru. Banyak perumahan yang tumbuh di sekitar penyangga Jakarta tersebut. Sehingga perputaran uang tidak sepenuhnya berada di Jakarta. Jakarta hanya tempat untuk mencari nafkah, sedangkan daerah penyangganya sebagai tempat mengkonsumsinya.  Menyadari hal tersebut, untuk menarik pola konsumsi kembali ke Jakarta, langkah yang cenderung kurang tepat dilakukan yaitu dengan membuka banyak mall atau pusat-pusat perbelanjaan yang cukup besar yang kadangkala penataannya tidak sesuai dengan peruntukan awalnya. Pendirian mall diharapkan agar dana yang keluar Jakarta bisa tersedot kembali ke Jakarta. Merupakan sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri bahwa di sekitar Senayan saja telah ada kurang lebih 8 pusat perbelanjaan yang cukup besar (plaza senayan, senayan city, ratu plaza, pacific place, plaza semanggi, plaza slipi Jaya, rencana mall Taman Ria,  dan Lifestyle X’nter/fx), belum di ring kedua setelahnya yaitu Blok M Plaza, Mall Ambassador, Grand Indonesia, Plaza Indonesia, City Walk, Taman Anggrek, dan Plaza Setiabudi, serta pusat tekstil Tanah Abang. Disamping banyaknya mall yang berada di pusat Jakarta, banyak event tahunan yang sudah terprogram yang pelaksanaannya di area senayan ini. Hampir semua event berskala nasional baik olahraga, bursa tenaga kerja hingga pameran industry diadakan dan melibatkan banyak orang didalamnya. Ibarat tempayan yang diisi melebihi kapasitasnya. Daerah ini menjadi focus bottle neck dari semua arah lalu lintas dari dan menuju Jakarta. Banyak upaya dilakukan oleh pemerintah kota Jakarta, dari menerapkan three in one, buka tutup pintu toll, contra flow lalu lintas, hingga menerapkan hari bebas kendaraan (car free day) juga belum mampu mengatasi problem ini.
 
Pergeseran Demografi
 
Problem kedua selain masalah kemacetan ini adalah bergesernya pola demografi masyarakat. Bergesernya demografi  juga menjadi salah satu penyebab problem pertama tadi.  Akibat melambungnya nilai jual tanah di Jakarta, menyebabkan tidak semua penduduk yang bekerja di Jakarta memiliki kemampuan untuk membeli tempat tinggal di Jakarta. Konflik pertanahan juga menjadi berita rutin di media akhir-akhir ini, dan bahkan banyak yang harus merelakan rumah tinggalnya untuk dijadikan ruang usaha dan perkantoran, dan mereka memutuskan untuk menjualnya dan pindah ke area sub urban yang berada jauh diluar Jakarta. Pergeseran ini membawa dampak  semakin besarnya  kebutuhan untuk sarana transportasi yang memadai dan menjangkau dari sudut pandang biaya, karena kepindahannya tidak disertai kepindahan tempat bekerja. Disisi lain, banyak juga yang tidak bersedia pindah dan lebih memilih tinggal dibantaran kali dan rel kereta api dengan kondisi seadanya, dan kalau memiliki  rumahpun juga banyak yang tidak sanggup membayar PBB nya yang selalu meningkat setiap tahunnya seiring peningkatan NJOP. Guna menjembatani ini, pemerintah berupaya memberikan insentif berupa pendirian rumah susun sederhana dengan nilai jual yang murah, dengan harapan bahwa mereka akan meninggalkan area bantaran kali dan rel.  Tetapi kembali keprakteknya hal ini tidak dapat dijalankan dengan mudah. Banyak konflik pertanahan yang muncul berkaitan dengan rumah susun ini. Disamping itu banyaknya pemilik modal yang membeli lebih dari satu unit dan dijual lebih mahal. Akibatnya banyak rusunami yang harga perunit nya melambung tinggi, dan tak terjangkau sesuai peruntukkannya. Subsidi yang diberikan pemerintah kembali jatuh pada pihak-pihak yang memiliki modal yang besar.
Bagi masyarakat yang mampu pergeseran demografi juga mereka rasakan. Banyak eksekutif muda yang lebih memilih untuk tinggal di apartemen yang sangat berdekatan dengan kantor mereka, baik membeli ataupun menyewanya. Factor kelelahan berkendara merupakan salah satu penyebabnya, disamping ada keinginan untuk melakukan investasi di sector property ini. Kecenderungan bagi type ini adalah mereka pada umumnya telah memiliki landed house, namun lokasinya sangat jauh dari tempat kerja mereka, setelah diperhitungakan secara ekonomis, mereka cenderung melakukan investasi di apartemen dengan memanfaatkan selisih transport untuk membayar KPA. Pergeseran demografi ini berdampak pula dalam pergeseran prilaku social dan bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungan. Kehidupan apartemen mungkin  cenderung lebih mahal dalam konteks operasional, karena banyaknya item yang harus dikeluarkan seperti biaya air dan listrik yg cenderung lebih besar daripada umumnya, parker, dan juga estate fee yg berkaitan dgn maintenance facilities. Tetapi berapapun biayanya, kecenderungan besar mereka tetap memilih apartemen daripada kelelahan dan kehabisan waktu di jalan.
 
Fungsi “Lift”
 
Kehidupan yang tidak “landed”, cenderung membawa perubahan dalam bagaimana mereka berinteraksi terhadap lingkungan. Salah satu fungsi Vital dalam kehidupan di apartemen adalah keberadaan alat yang disebut dengan “lift” atau biasa disebut dengan “escalator”. Sebuah kotak berukuran sedang yang bisa menampung kurang lebih diatas 10 an orang serta berfungsi membawa benda bergerak naik dan turun sesuai dengan yang diinginkan penggunanya. Dapat dibayangkan bila alat ini tidak berfungsi, banyak hal akan mengalami kendala , tidak hanya menstransfer orang tapi juga benda-benda lain yang dibutuhkan penghuninya. Lift sudah menjadi benda yang diketergantungi oleh para penghuni apartemen, dan ketika memasukinya sebagian pengguna sudah menyerahkan sebagian kepercayaan pada berfungsinya peralatan mesin tersebut.
Secara social, fungsi lift adalah tempat bertemunya masyarakat bertegur sapa walaupun dalam waktu yang singkat. Di dalam lift yang terkotak-kotak, kita terbiasa menemukan perbedaan, tanpa pernah berkehendak menggugat perbedaan tersebut secara langsung. Kita bisa bertemu dengan berbagai macam bahasa, bidang profesi yang berbeda, kewarganegaraan, dan bahkan bau badanpun sangatlah berbeda dari masing-masing orangnya. Kadangkala intensitas pertemuannya lebih sering daripada ketika kita berada di “landed house”. Dengan waktu yang singkat, memang tidak banyak informasi tergali dari berbagai sisi, tapi pattern nya hampir mirip, kebanyakan  lebih tampak simple dan ringkas. Lift merupakan media yg paling sederhana untuk dapat melihat perbedaan secara langsung. Seperti layaknya sebuah kehidupan, lift bisa memberikan pembelajaran bahwa naik turun adalah sesuatu yang biasa, dan kadangkala bisa merupakan pilihan dan kadangkala bukan. Kita mencapai tujuan ketika kita menginginkannya. Tapi yang terpenting ujungnya mendarat juga ke tujuan . Kegagalan berproses akan memunculkan energy expenses yang lebih besar , oleh karenanya rawatlah lift dan rawatlah kehidupan, karena dari sana kita bisa menarik pembelajaran bahwa naik dan turun adalah sebuah kewajaran, dan berhenti pada titik tujuan adalah harapan.
 
Last modified on Tuesday, 05 May 2015 16:28
Super User

Tolong komentar dengan kata-kata yang tidak menyinggung

Login to post comments