×

Warning

JFolder::create: Could not create folder.Path: /home/semarawi/public_html/t3-assets/dev

Rate this item
(0 votes)

Siapa nih yang kentut?, suatu umpatan yang biasa dilakukan oleh seseorang ketika mencium suatu bau yang tak sedap diantara sekumpulan orang lain. Rupanya orang tersebut sedang membutuhkan sebuah pengakuan dosa, walaupun kenyataan bau yang sudah dihirup tak mungkin dengan mudah dihilangkan begitu saja. Apakah dengan pengakuan dosa, bau akan kembali menjadi harum? Jelas dan pasti tentu tidak jawabannya. Mungkin pengakuan dosa dibutuhkan sebagai bentuk katarsis yang dapat meringankan rasa bau dan kesal dihati. Disisi lain, memang sulit membayangkan bahwa yang kentut akan mengakuinya, kecuali pada saat kentut disertai dengan bunyinya. Apakah yang mencium akan memaafkannya setelah tahu, tentunya belum dapat dipastikan juga.

 
Bila ditilik secara sederhana, fenomena tak sedap ini seringkali terjadi dalam bentuk yang berbeda. Penegak hukum mengalami kesusahan untuk menggali pengakuan dengan cara yang halus dari seorang tersangka kejahatan, akibat tidak mudahnya bagi pelaku kejahatan untuk mengakui kesalahannya dan juga karena  lemahnya bukti hukum yang ada. Bukan rahasia lagi bahwa cara umum yang sering ditempuh oleh penegak hukum untuk mengorek keterangan dari tersangka adalah dengan menggunakan kekerasan. Apakah kekerasan merupakan cara satu-satunya untuk menggali pengakuan. Tentu jawabannya juga tidak. Bagi penegak hukum, kekerasan diamini sebagai langkah terakhir. Mereka menyadari bahwa cara persuasiflah yang perlu dilakukan, dengan sebuah catatan besar bahwa si tersangka akan secara sukarela mengakui dosa yang dilakukan. Atau dengan cara melengkapi fakta dan bukti-bukti hukumnya sehingga tidak memungkinkan bagi tersangka untuk menolaknya.
 
Dimanapun secara umum ada keterbatasan bagi seseorang untuk mengakui hal-hal yang dirasanya negatif. Hal ini bisa didasarkan beberapa alasan, baik itu karena alasan ketakutan akan dampak negatif yang bisa muncul dari pengakuannya tersebut ibarat bola liar yang susah di kontrol, ketidaknyamanan untuk melakukan keterbukaan terhadap orang yang tak dirasa “dekat”, melihat kepentingan yang lebih luas dan dapat mengganggu kepentingan korp atau tim, hingga yang berprinsip rahasia adalah tetap rahasia.
 
Banyak cara yang ditempuh agar faktor yang mengganjal di lubuk hati dapat segera teratasi, ada yang menunjukkan ekspresi emosi dgn berbagai cara seperti berteriak, tertawa, marah dan membentak, diam dan menangis. Berdasar ilmu kesehatan jiwa, memendam perasaan yang cukup lama dapat berpengaruh secara signifikan bagi kesehatan fisik maupun psikologis. Oleh karenanya, banyak bermunculan lembaga-lembaga konsultasi psikologis yang menyediakan jasa bimbingan dan konseling untuk membantu proses katarsis tersebut. Disamping itu di agama tertentu pun ada yang menyediakan fasilitas untuk melakukan pengakuan dosa secara formal. Selain melalui media formal tadi, katarsis juga dilakukan dengan banyak hal, untuk pekerja biasa melakukan “karaoke” bersama, melakukan futsal, basket dan berbagai kegiatan positif lainnya. Namun tak sedikit yang melakukan katarsis dengan cara yang salah, menggunakan narkoba, mabuk, memelihara WIL dan PIL, dan bahkan juga berjudi.
 
Satu ajaran prilaku yang ditanamkan oleh orangtua kita dari dahulu hingga sekarang adalah jangan sekali-kali buang sampah di sembarang tempat, dan bahkan untuk kencing pun kita diharapkan untuk meminta ijin dengan menyebut satu atau dua patah kata permohonan ijin. Begitu santunnya orang tua kita ketika memandang interaksi mereka dengan lingkungan, sehingga terkesan tidak enak bila prilaku mereka dapat merugikan pihak lain. Demikian pula sebaliknya, ada harapan bahwa setiap orang akan berprilaku baik kepada mereka seperti yang mereka lakukan pada orang lain. Ini adalah sebuah contoh dari pendidikan budi pekerti yang saat ini sudah mulai memudar.
Dari pendidikan budi pekerti kita diajarkan untuk tidak menjadi beban bagi masyarakat dgn membuat masyarakat di lingkungan kita menjadi tidak nyaman. Hal ini berarti begitu pentingnya bagi kita melihat dari sisi kepentingan pihak lain. Kadangkala hal inilah yang seringkali dilupakan. Banyak yang lebih mementingkan egonya masing-masing ketika berinteraksi dengan yang lainnya, seolah-olah hidup sendiri dan yang lainnya ngontrak. Seolah-olah bisa mengatur dan tak mau diatur. Seolah-olah hanya orang lain saja yang bergantung pada kita. Sejalan dengan perkembangan waktu semakin banyak fenomena ketidaksantunan seringkali kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Yidak banyak lagi  yang menghargai orang tua dan mau mendengarkan pihak lain.
 
Fenomena ketidaksantunan lainnya  banyak kita temui secara kasat mata dalam masyarakat luas seperti contohnya para pengendara kendaraan yang seenaknya melawan arus, sementara polisi hanya bisa “nyengir” melihatnya. Keengganan para guru untuk memukul tangan siswa akibat kenakalannya, lebih karena khawatir dianggap melakukan penyiksaan. Budaya serobot di jalan, parkir disembarang tempat dan bahkan banyak pejabat  tanpa malunya memamerkan kekayaan yang jelas-jelas tidak sesuai dengan pendapatannya.
 

Dalam konteks makro, bentuk-bentuk ketidaksantunan juga diperlihatkan oleh para pejabat kita. Tidak sedikit dukungan-dukungan yang diberikan oleh tokoh politik terhadap tersangka korupsi dengan melakukan kunjungan silaturahmi ke penjara, dengan alasan untuk memberikan perhatian terhadap rekan yang ditimpa kesusahan. Disamping itu, pencabulan yang dilakukan oleh beberapa guru terhadap anak didiknya justru membuat kita sangat heran dan cenderung tidak mampu menarik sebuah argumentasi  yang logik dari peristiwa tersebut kecuali menyeringai dengan wujud kemarahan. Contoh lain yang paling miris adalah pongahnya Hakim Agung MA sebagai garda terakhir penegakan keadilan dalam memalsukan putusanya dan berkongkalikong dengan para penjahat.

 
 
Pada dasarnya budi pekerti membutuhkan sebuah contoh. Budi pekerti bukanlah semacam ‘kentut’ yang tak terlihat bentuknya tapi terasa baunya. Contoh atau role model akan memudahkan kita dalam mengkonsepkan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan budi pekerti itu sendiri. Kita akan lebih mudah dalam memaknakan kata-kata jujur dan kejujuran, adil dan keadilan, disiplin dan kedisiplinan, kerja keras dan segudang kata-kata yang dapat menyombolkan spirit budi pekerti tersebut. Bisa dibayangkan bila semua penegak hukum bertindak profesional, jujur, kompeten dan tidak korup, tapi tidak jargon semata dan benar-benar dibuktikan secara real dilapangan. Bisa dibayangkan bila presiden dapat bersikap tegas terhadap para koruptor, menjadi contoh dalam penegakan hukum, dan menjadi pejuang hak asasi manusia dalam menentang diskriminasi sosial, dan tidak hanya sekedar berwacana saja. Tentunya hasilnya akan berbeda. Bisa dibayangkan kalau semua aparatur negara bisa bergerak secara profesional dan dapat memberikan pelayanan pada masyarakat dengan penuh pengabdian. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar.
 
Begitu mudahnya kita mengikuti rambu-rambu lalu lintas ketika kita berada di negeri orang, dan disisi lain begitu mudahnya kita mengabaikannya ketika berada di negeri sendiri, menunjukkan bahwa spirit kesantunan hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Tapi bagaimanakah kita mengubahnya? Pertanyaan ini selalu didengung-dengungkan, tapi tak banyak yang berinisiatif untuk mencarikan jawabannya. Apakah dibutuhkan musuh bersama untuk dapat menyatukan spirit kesantunan, ataukah kita perlu melakukan sebuah revolusi sosial seperti halnya yang dilakukan oleh China ketika memerangi korupsi yang tumbuh dikalangan birokratnya. Ataukah kita hanya butuh seorang pimpinan karismatik yang sederhana bak seorang Kalki Avatar atau seorang ratu adil untuk dapat mengubah mindset masyarakat untuk memiliki kesantunan sosial yang dapat dicontoh disetiap lapisan masyarakat.
 
Kadangkala ada harapan untuk mengubah mindset bahwa kentut bukanlah sebuah aib, kentut adalah suatu yang mahal harganya, bak suatu keadaan dimana seorang pasien yg habis dioperasi untuk ditunggu apakah sudah bisa kentut atau tidak untuk menyatakan kesembuhannya... untuk itu bisakah kentut diubah menjadi harum bak pengharum ruangan yang beraroma harum sesuai dengan keinginan penghuninya.... ataukah kita punya cara lain agar kentut dapat diterima oleh semua orang sebagai sebuah kewajaran dan bukannya sebuah olok-olok pertemanan... semasih kita selalu menganggap bahwa apapun yang berasal dari lubang pantat sebagai sebuah aib tentunya hal ini menjadi suatu yang tak mudah untuk dimaknakan sebagai sebuah kesantunan.... dan untuk menjawabnya dibutuhkan contoh berupa gagasan besar dan dilakukan oleh orang yang tepat... dan bersumber dari lubuk hati yang terdalam....
Last modified on Wednesday, 06 May 2015 21:47
Super User

Tolong komentar dengan kata-kata yang tidak menyinggung

Login to post comments